Darilaut – Kapal yang tersedia di pasar tidak hanya didesain berdasarkan salah satu lokasi spesifik saja. Tetapi didesain untuk beroperasional di seluruh perairan belahan bumi.
“Jika kapal tanker pasar digunakan di perairan Indonesia, maka kapasitas kargo tidak terpakai secara maksimal atau akan mengalami dead freight,” kata Manajer Fleet-4 di Pertamina International Shipping I Gusti Ngurah Handiyana, seperti dikutip dari Its.ac.id.
Dead freight merupakan jumlah muatan kapal yang tidak bisa diangkut karena sarat kapal lebih tinggi dari perairan pelabuhan. Adapun faktor penyebabnya, yaitu sarat atau draft kapal yang terlalu tinggi, kondisi kedalaman pelabuhan yang dangkal, penumpukan muatan yang berlebihan, dan desain kapal yang tidak sesuai dengan daerah pelayaran.
Kondisi inilah yang mendasari perlu adanya desain khusus untuk keperluan transportasi, muat, dan bongkar di pelabuhan migas Indonesia.
Handiyana menjelaskan hal ini dalam acara Maritime Online Course, yang digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jumat (22/10), dengan materi mengenai anatomi kapal tanker dan gas.
Menurut Handiyana penting untuk memperhatikan desain kapal tanker di perairan Indonesia, karena pelabuhan migas dan ladang minyak di Indonesia berada pada perairan dangkal.
Desainer kapal menciptakan kapal shallow draft yang memiliki desain khusus untuk perairan di Indonesia. Misalnya, untuk kapal dengan ukuran 6500 DWT itu biasanya menggunakan draft 6 hingga 7 meter, namun untuk di Indonesia didesain hanya 4 sampai 4,5 meter.
Dengan keuntungan dapat mengurangi kemungkinan dead freight, manuver gerak kapal yang lebih bagus, dan lebih mudah memilih dan memanfaatkan kapasitas dok.
Namun memiliki keterbatasan, stabilitas kapal yang kurang sempurna dibandingkan dengan desain tanker normal yang sejenis dan memerlukan aspek desain yang lebih untuk diperoleh hasil yang maksimal.
Untuk mendesain dasar pembuatan kapal tanker, kata Handiyana, terdapat beberapa pertimbangan. Di antaranya yaitu kondisi perairan dan kolam pelabuhan, kapasitas produksi kilang, fasilitas tangki timbun di darat, serta jumlah kebutuhan bahan bakar minyak (BBM).
“Selain itu, kondisi daerah setempat, peraturan yang telah dan akan berlaku, kapasitas galangan, tren desain serta teknologi perkapalan, juga menjadi pertimbangan,” katanya.
Dalam pembuatan kapal selalu berhubungan dengan Light Weight Ton (LWT) dan Dead Weight Ton (DWT) dengan satuan Displacement yaitu jumlah air yang dipindahkan oleh berat, bentuk dan kulit badan kapal.
Adapun komponen LWT adalah bagian-bagian kapal yang tidak bisa bergerak, misalnya seperti baja kapal, outfit, akomodasi dan instalasi permesinan. Komponen DWT adalah bagian kapal yang memiliki berat berubah-ubah, seperti makanan atau logistik, kargo, bahan bakar, air tawar, kru kapal, dan bagasi kapal.
Ada beberapa regulasi yang ditetapkan oleh International Maritime Organization (IMO). Misalnya seperti kapal oil tanker 5000 DWT ke atas diharuskan menggunakan konstruksi double hull atau lambung ganda. Kemudian, untuk kapal oil tanker 500 hingga 5000 DWT harus menggunakan konstruksi double bottom atau alas ganda.
“Hal tersebut bertujuan untuk menghindari dan mengurangi kemungkinan terjadinya pencemaran minyak apabila tanker mengalami tabrakan di laut,” ujarnya.
Komentar tentang post