Darilaut – Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Arif Satria, mengatakan, arah riset dan inovasi di BRIN ke depan harus semakin berdampak nyata bagi kemajuan ekonomi nasional.
Hal itu disampaikan Arif saat diwawancarai usai acara Serah Terima Jabatan Kepala BRIN dari Laksana Tri Handoko di Auditorium Soemitro Djojohadikusumo, Gedung BJ Habibie, Jakarta, Selasa (11/11).
“BRIN juga harus memberikan impact, dampak besar bagi kemajuan ekonomi kita. Jadi riset-riset di BRIN ke depan harus menjadi riset yang berdampak, yang memberikan manfaat nyata bagi kemajuan ekonomi,” ujar Arif.
Arif menilai, potensi yang dimiliki BRIN saat ini sudah sangat kuat. Infrastruktur riset, sumber daya manusia, dan jejaring kolaborasi yang telah dibangun menjadi modal besar untuk memperkuat kontribusi riset terhadap program strategis nasional.
“Tapi yang paling penting sekarang adalah bagaimana semua riset yang sudah ada bisa kita kapitalisasi agar memiliki daya impact yang lebih besar lagi,” ujarnya.
Dalam pidato perdana, Arif menyampaikan optimismenya terhadap potensi besar para peneliti BRIN yang memiliki kompetensi dan talenta luar biasa untuk memimpin perubahan di masa depan.
Arif mengajak seluruh sivitas BRIN untuk menjadikan lembaga ini sebagai rumah bersama dan pusat energi baru bagi kemajuan bangsa.
“Mari kita sama-sama jadikan BRIN sebagai rumah kita, sebagai rumah yang membuat kita semua harus benar-benar nyaman dan membuat rumah ini benar-benar bisa berfungsi sebagai pusat energi baru untuk berinovasi bagi kemajuan bangsa,” kata Arif.
”Kita sama-sama membuat BRIN menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan di Indonesia. Dan pada saatnya nanti kita sama-sama bagaimana BRIN menjadi institusi yang juga memiliki reputasi berkelas di tingkat dunia.”
Arif juga menyoroti pentingnya kepemimpinan transformasional di tengah perubahan global yang begitu cepat. Ia menekankan bahwa para peneliti dan sivitas BRIN tidak hanya perlu memimpin diri sendiri atau orang lain, tetapi juga harus mampu memimpin perubahan (lead change) dan memimpin masa depan (lead the future).
“Tentu kita harus menatap ke depan. Karena pada akhir-akhirnya leadership itu tidak hanya how to lead self, bagaimana memimpin diri sendiri. Tidak hanya how to lead others, tidak hanya bagaimana kita memimpin orang lain,” kata Arif.
“Yang hari ini kita perlukan menghadapi dinamika global, menghadapi dinamika perubahan yang begitu pesat, kita harus sudah mulai masuk pada bagaimana kita lead change, memimpin perubahan, dan lead the future, memimpin masa depan. Sehingga kemampuan kita untuk mendeteksi perubahan, memahami sinyal-sinyal perubahan.”
Arif menyampaikan apresiasi mendalam kepada Laksana Tri Handoko atas kerja keras dan dedikasi dalam membangun BRIN sejak lembaga ini berdiri.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Pak Handoko dan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kerja keras dalam membangun BRIN ini. Tepuk tangan buat Pak Handoko,” ujar Arif.
Arif menjelaskan, proses pengembangan organisasi besar seperti BRIN harus melalui dua tahapan penting, yakni institutional building dan institutional development.
Kepemimpinan Laksana Tri Handoko selama empat tahun terakhir telah berhasil melewati tahap awal yang krusial, yaitu membangun struktur, kultur, dan nilai-nilai dasar organisasi.
“Proses institutional building itu bukan pekerjaan mudah. Pak Handoko telah berhasil membangun struktur, kultur, dan value BRIN. Kini kita harus melangkah ke tahap berikutnya, yaitu bagaimana menginternalisasi fungsi, misi, dan norma agar BRIN semakin kokoh,” ungkap Arif.
Arif mengatakan bahwa membangun lembaga sebesar BRIN yang merupakan integrasi dari berbagai lembaga riset nasional — seperti BPPT, BATAN, LAPAN, LIPI, dan lembaga Eijkman — bukanlah proses singkat. Namun, menurutnya, fondasi yang telah dibangun harus menjadi pijakan kuat untuk melangkah ke fase pengembangan institusi yang lebih matang.
Arif juga menyinggung pentingnya kesadaran terhadap isu perubahan iklim dan tantangan global lain. Ia pun mencontohkan keteladanan tokoh-tokoh nasional dan dunia seperti Emil Salim dan Mahathir Muhammad yang tetap konsisten memikirkan masa depan meski di usia lanjut.
“Pak Emil Salim di usia 95 tahun masih menjadi pembelajar sejati, dan Mahathir Muhammad di usia 100 tahun masih berbicara tentang isu perubahan iklim, AI, dan masa depan. Ini menginspirasi kita semua untuk terus belajar dan berpikir ke depan,” ujar Arif.
