Darilaut – Mikroplastik dapat berubah ukurannya menjadi nanoplastik. Ukuran ini lebih kecil dari virus.
Bagi Kesehatan, mikroplastik ini dapat mengikat logam berat dan mengganggu siklus reproduksi.
Periset Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Muhammad Reza Cordova, mengatakan, mikroplastik makin lama semakin kecil, bahkan dapat menjadi nanoplastik, ukurannya lebih kecil dari 1 mikron atau lebih kecil daripada virus.
“Mikroplastik bisa menjadi tempat mengikat logam berat, pestisida, dan bahan aditif lainnya. Mikroplastik juga dapat menyebabkan gangguan hormon dan genetika,” kata Cordova.
“Sebagai contoh, kelomang jantan tertarik kepada plastik yang baunya mirip feromone ketimbang kelomang betina, sehingga menganggu siklus reproduksi kelomang.”
Cordova menjelaskan, mikroplastik merupakan material plastik yang ukurannya kurang dari 5 mm.
Mikroplastik ini sumbernya ada dua, pertama adalah sumber utama primer yang memang plastik dari awal diciptakan sedemikian rupa dengan ukuran kurang dari 5 mm.
Contohnya, campuran pupuk, campuran scrubber untuk pembersih kapal, bahan kosmetik seperti body scrub, dan lain sebagainya.
Kedua, mikroplastik yang berasal dari plastik ukuran besar dengan struktur tidak stabil yang terkikis dan hancur karena paparan ultraviolet sinar matahari dan umur.
Menurut Cordova, lebih dari 70 persen sumber mikroplastik berasal dari plastik dengan ukuran besar. Masih banyak pengelolaan sampah yang metodenya kurang tepat, sehingga menyebabkan plastik menjadi ukuran lebih kecil.
Plastik ini tidak akan hilang, hanya akan semakin menjadi tidak terlihat.
Mikroplastik ditemukan hampir dari seluruh matriks sampel ekologi. Seluruh air sampel penelitian yang telah diteliti sebelumnya mengandung mikroplastik.
Selain di air, mikroplastik juga ditemukan di sedimen, bahkan di dalam organisme yang konsentrasinya semakin lama semakin meningkat.
“Ada keterkaitan antara air dengan udara, mikroplastik akan cepat terbang melalui udara karena bobotnya yang ringan, sehingga mikorplastik juga terdapat di udara. Mikroplastik bahkan juga ditemukan di laut dengan kedalaman 2000 meter,” kata Cordova.
Cordova mengatakan bahwa mikroplastik dianggap berbahaya jika masuk ke dalam tubuh manusia.
Kecenderungan pertama yang paling mudah adalah masuk melalui saluran pencernaan dan menyebabkan luka. Setelah menyebabkan luka, mikroplastik juga dapat menyerap polutan jenis lain, termasuk material tambahan/ aditif yang ada di dalam plastik seperti zat perwarna plastik.
Masih banyak problematika yang dihasilkan mikroplastik serta dampaknya. Potensi untuk ancamannya semakin terlihat dan jelas, sehingga pencemaran dari mikroplastik ini harus segera ditangani, kata Cordova.
Cordova menjelaskan, jika secara global belum ada metode standar yang ditetapkan untuk menangani masalah mikroplastik.
Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) harus terlebih dahulu setuju dengan harmonisasi metode sehingga bisa menghasilkan standarisasi angka tertentu untuk nilai baku mutu tertentu.
Kerja sama sangat penting karena pekerjaan ini tidak dapat dilakukan dalam kelompok kecil.
“Tidak mungkin melakukan riset mikroplastik sendiri, riset mikroplastik harus dilakukan bersama-sama baik secara nasional, regional, maupun global,” kata Cordova dalam lokakarya “Determining Microplastic Distribution in Coastal Aquaculture Input System and Developing A Mitigation Plan Towards Seafood Safety APEC OFWG 03 2021A”, di Kuta, Bali, Rabu-Jumat (8-10/11).
Kegiatan ini menghadirkan para ahli dari Australia, Amerika, perwakilan OFWG dari ekonomi Tiongkok, Vietnam, Chili, Thailand, Indonesia, Peru, Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim BRIN Ocky Karna Radjasa, mengatakan, kontaminasi mikroplastik telah menjadi perhatian global. Indonesia saat ini menjadi penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia.
Menurut Ocky, pemerintah tidak hanya mencari solusi dalam menangani sampah dalam arti mengoleksi, memisah, dan membakar, tetapi juga memerlukan dukungan riset terkait dengan inovasi-inovasi dalam menangani sampah, salah satunya sampah mikroplastik.
Selanjutnya, kata Ocky, Indonesia memerlukan lebih banyak pakar dalam bidang mikroplastik untuk melakukan inovasi.
Riset tidak hanya menangani masalah sampah plastik, tetapi juga mengidentifikasi dan mencari sumbernya.
Konteks identifikasi sumber dan volume sampah plastik yang menuju ke laut juga masih menjadi masalah.
“Introduksi sampah plastik ke laut atau perairan tawar tidak akan bisa dicegah tanpa adanya solusi alternatif, di mana masyarakat sebagai sumber awal dari sampah plastik,” ujarnya.