Bitung Jadi Model Percontohan Perlindungan Awak Kapal Perikanan

Kapal perikanan di Bitung, Sulawesi Utara. FOTO: DARILAUT.ID

Jakarta – Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, upaya pelindungan awak kapal perikanan di Sulawesi Utara dan Bitung dilakukan melalui pendekatan multistakeholder dengan dukungan regulasi nasional, edukasi dan pencegahan yang kuat pada tingkat komunitas.

Platform Safe Fishing Alliance pada level provinsi Sulawesi Utara dan terbentuknya fisher centre pada tingkat komunitas di Kota Bitung terbukti dapat menjembatani masalah dan kesenjangan upaya pelindungan awak kapal perikanan yang selama ini dirasakan oleh pemerintah, private sector dan awak kapal sendiri,” kata Abdi.

Saat ini, Filipina dan Thailand adalah negara di Asia Tenggara yang menjadikan kota Bitung, Sulawesi Utara sebagai tempat belajar model perlindungan awak kapal perikanan. Perwakilan kedua negara tersebut melakukan kunjungan di kota Bitung pada akhir Januari lalu.

Kunjungan ini bertujuan untuk melihat dan mempelajari format pelindungan awak kapal perikanan yang dikembangkan SAFE Seas Project (SSP). Program yang dilaksanakan oleh Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII) dengan DFW-Indonesia menunjukan bahwa praktik kerja paksa dan perdagangan orang pada sektor perikanan tangkap perlu dikurangi melalui kerjasama multistakeholder.

Seperti diketahui, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah membentuk Forum Daerah Pelindungan Awak Kapal Perikanan Sulawesi Utara. Sejumlah awak kapal perikanan di kota Bitung juga telah menginisiasi pembentukan Forum Awak Kapal Perikanan Bersatu (Forkab) Bitung.

Keberadaan forum stakeholder tersebut menjadi media komunikasi dan koordinasi pihak pemerintah, pelaku usaha, LSM, serikat pekerja dan media dalam merespon isu, masalah dan diskriminasi yang dialami awak kapal perikanan.

Saat menerima perwakilan kedua negara yang berkunjung di kota Bitung, Wakil Walikota Bitung Maurits Mantiri mengatakan, pemerintah Kota Bitung sedang mendorong bangkitnya industri perikanan tangkap yang berkeadilan dan menguntungkan semua pihak.

“Pasca moratorium kapal ikan asing, kami terus mendorong tumbuhnya industri perikanan yang lebih berkualitas melalui bisnis model bisnis yang lebih adil dan penghormatan pada HAM pekerja,” kata Maurits.

Dalam konteks tersebut, pihaknya mengapresiasi inisiatif SSP yang telah melakukan upaya penyadaran dan edukasi kepada awak kapal perikanan di Kota Bitung, serta mengadvokasi masalah yang dihadapi awak kapal yang bekerja di dalam maupun luar negeri dan berasal dari kota Bitung.

Menurut Project Coordinator SSP, Yayasan Plan Internasional Indonesia, Roosa Sibarani, fasilitasi yang dilakukan SSP juga diberikan guna mendukung implementasi regulasi nasional bidang perikanan tangkap seperti sertifikasi HAM Perikanan. “Kami telah melakukan pendampingan kepada 10 perusahaan penangkapan ikan dan unit pengolahan ikan untuk mendapatkan sertifikat HAM dari Kementerian Kelautan dan Perikanan,” kata Roosa.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan, M Zulficar Mochtar mendukung inisiatif SSP yang telah membuat model dan pendekatan baru dalam mengurangi inidkator kerja paksa dan perdagangan orang di bisnis perikanan.

“Kami tidak bisa bekerja sendiri, sebab indikasi kerja paksa dan perdagangan orang saat ini masih terjadi dengan modus yang lebih modern. Hal ini membutuhkan pendekatan multi doors dan melibatkan banyak pihak. Inisiatif ini sangat membantu pemerintah yang sedang melakukan pembenahan bisnis perikanan tangkap secara menyeluruh,” kata Zulficar.*

Exit mobile version