Cantrang Beroperasi 1960, Pedoman FAO 1970

Cantrang

FOTO: KKP

ALAT penangkapan ikan cantrang, sudah mulai dioperasikan sejak tahun 1960. Selanjutnya, penggunaan alat ini mendapat larangan.

“Pelarangan akibat adanya anggapan bahwa trawl sebagai cantrang yang sebenarnya adalah side boat net,” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Ari Purbayanto, dalam Focus Group Discussion (FGD) terkait Kajian Alat Tangkap Cantrang di Indonesia, Selasa (23/7) pekan lalu.

FGD ini diselenggarakan Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.

Menurut Ari, anggapan yang ada mengenai hasil tangkapan sampingan atau bycatch catrang bernilai ekenomi rendah, adalah hal yang salah. Hasil bycatch cantrang awalnya menjadi bahan dasar industri ikan surimi.

Saat ini, menurut Ari, setelah ada pelarangan, industri surimi, sebagai contoh yang ada di wilayah Jawa Timur, banyak yang tutup karena tidak adanya bahan baku.

Ari mengatakan, regulasi pelarangan cantrang merupakan langkah yang dapat diambil jika tidak ada opsi lain. Masih ada opsi untuk mengatur penggunaan cantrang, dibandingkan melakukan pelarangan.

Penggunaan cantrang popular pada wilayah pantai utara Pulau Jawa. Setelah pelarangan penggunaan trawl, banyak (nelayan) yang beralih ke cantrang. “Di situlah ada oknum nakal yang memodifikasi cantrang. Modifikasi itulah yang perlu dilarang,” kata Ari.

Menurut Ari, cantrang yang telah dimodifikasi menyimpang dari standar nasional. Oleh karena itu, cantrang modifikasi perlu dikategorikan berbeda dengan cantrang original.

“Tidak ada alat tangkap ikan yang tidak merusak. Semuanya tergantung bagaimana penggunaannya,” ujar Prof Ari.

Kepala Subdit Alat Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Endroyono mengatakan, regulasi pelarangan cantrang dibuat berdasarkan apa yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Sehingga dibuat peraturan yang mengatur secara teknis mengenai cantrang, yaitu Kepmen KP No 6 tahun 2010 tentang Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kepmen No 60/2010 ini ditandatangani Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, pada 11 Januari 2010.

Dalam Kepmen ini menetapkan Alat Penangkapan Ikan di WPP yang menurut jenisnya terdiri dari 10 (sepuluh) kelompok. Masing-masing: 1) jaring lingkar (surrounding nets), 2) pukat tarik (seine nets), 3) pukat hela (trawls), 4) penggaruk (dredges) dan 5) jaring angkat (lif nets). Kemudian, 6) alat yang dijatuhkan (falling gears), 7) jaring insang (gillnets and entangling nets), 8) perangkap (traps), 9) pancing (hooks and lines) dan 10) alat penjepit dan melukai (grappling and wounding).

Pada diktum ketiga Kepmen ini menyebutkan, penggunaan alat penangkapan ikan yang dikarenakan perkembangan bentuk dan/atau model dengan cara operasi tertentu, pada daerah tertentu, dan/atau sebutan nama lain, mengacu pada salah satu kelompok jenis alat penangkapan ikan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri ini.

Penasehat Kehormatan Menteri Pariwisata, Indroyono Soesilo mengatakan, kehadiran FAO (Food and Agriculture Organization) pada FGD cantrang diharapkan dapat memberikan wawasan dan membantu mengimplementasikan buku pedoman penggunaan cantrang.

Food and Agriculture Organization telah memiliki buku technical guideline tentang cantrang sejak 1970. Artinya, masalah cantrang ini, guideline-nya sudah diimplementasikan sejak 1970,” kata Indroyono yang juga mantan Menko Maritim dan pernah menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Perikanan dan Akuakultur FAO.

Senior Fisheries Officer FAO, Simon Nicol mengatakan, FAO tidak dapat mengintervensi bagaimana pemerintah Indonesia membuat regulasi cantrang. Yang dapat dilakukan FAO hanya memberikan panduan pengambilan ikan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

“Contoh pengambilan ikan yang bertanggung jawab adalah yang memberikan efek paling minimum terhadap lingkungan tempat pengambilan ikan, maupun tidak memberikan pengaruh buruk terhadap keberlanjutan jenis ikan yang ditangkap pada daerah tersebut,” kata Simon.

Terkait panduan teknis cantrang, Simon mengusulkan, dalam menyusun regulasi terkait cantrang, pemerintah harus berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan dan berasal dari sumber yang bertanggung jawab. Regulasi tersebut diharapkan pula telah menampung keinginan pihak-pihak terkait, sehingga meminimalkan konflik yang mungkin terjadi di masa depan.

Menurut Simon, semakin spesifik penjelasan atau kategori jenis cantrang yang digunakan maupun katrakteristik perairan, akan semakin jelas pula panduan teknis yang dapat disarankan FAO kepada Indonesia terkait penggunaan cantrang.

Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Koeswandono mengatakan, pembahasan mengenai alat tangkap cantrang telah dimulai sejak 2 – 3 tahun lalu. Namun, belum ada penyelesaian yang dapat diterima.

Oleh karena itu, menurut Agung, FGD ini mengundang perwakilan FAO untuk memberikan pandangan terkait permasalahan cantrang. Sebelumnya Kemenko Kemaritiman telah mendengarkan pandangan masyarakat, para ahli dan akademisi kelautan dan perikanan.

Dalam FGD ini disampaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah, para ahli dan akademisi adalah untuk mengedukasi.

Menurut Agung, yang perlu dilakukan sekarang adalah tidak menyamaratakan penggunaan cantrang di Indonesia karena karakteristik kelautan di Indonesia yang berbeda-beda. Ada laut yang dangkal dan ada yang dalam.

Penggunaan cantrang ini harus sesuai dengan tipe masing-masing daerah ini. “Kita tidak bisa melarang mereka untuk ke laut, tapi kita bisa mengatur agar bagaimana mereka menangkap ikan secara sustainable,” kata Agung.

Agung mengajak semua pihak untuk membantu membuat peraturan yang lebih jelas karena persoalan cantrang adalah kepentingan masyarakat, khususnya nelayan.*

Exit mobile version