Darilaut – Sejumlah aktivis iklim yang menghadiri konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) di Dubai, Uni Emirat Arab, mengkhawatirkan pendanaan untuk adaptasi iklim dan konservasi keanekaragaman hayati akan salah sasaran atau disalurkan melalui pihak lain.
“Mereka (pemerintah dan otoritas negara) mengambil keputusan atas nama kami padahal secara historis wilayah tersebut adalah wilayah kami, namun kami dibuat tidak terlihat dan tidak bersuara,” kata Helen Magata dan Josefa Isabel Tauli, seperti dikutip dari Khaleej Times.
Magata adalah koordinator program iklim dan keanekaragaman hayati di Yayasan Tebtebba yang berbasis di Filipina utara, sementara Tauli adalah anggota kelompok penasihat pemuda mengenai perubahan iklim.
Di tempat berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB selama dua minggu, para aktivis menyuarakan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
Perlu dicatat, kata Magata dan Tauli, “sekitar 80 persen keanekaragaman hayati yang tersisa di dunia – mulai dari hutan hujan di Amerika Selatan hingga pegunungan, lembah dan sungai di Asia – dilindungi oleh masyarakat adat.”
Masyarakat adat adalah pemukim asli di suatu wilayah tertentu dan sejarah mereka dimulai pada masa pra-kolonial.
Masyarakat adat mempunyai tradisi sosial dan budaya berbeda yang terikat dengan tanah leluhur mereka.