Jakarta – Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, kegiatan menangkap ikan dekat rig (platform) minyak dan gas (migas) akan mengancam keselamatan nelayan.
Saat ini, terdapat indikasi meningkatnya aktivitas nelayan tradisional di sekitar rig dengan perimeter yang melanggar ketentuan. “Ini sangat berbahaya,” kata Abdi, Senin (6/8).
Studi khusus yang dilakukan DFW di Anambas menemukan bahwa nelayan seringkali melakukan aktvitas di sekitar rig milik Medco. Selain Anambas, kasus serupa terjadi di Pantura dan Madura.
Hal ini tentunya membahayakan keselamatan nelayan, karena berpotensi menimbulkan accident di laut. Pemerintah dan stakeholder terkait perlu melakukan aksi dan program bersama untuk memberikan perlindungan kepada nelayan tradisional agar tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar rig.
Selama ini, nelayan berkegiatan di sekitar rig karena dianggap sebagai daerah fishing ground. Selain itu, sebagai perlintasan nelayan dan tempat berteduh jika cuaca buruk.
Akitivtas ini berpotensi menimbulkan kecelakaan di laut. Ketika berada di laut, nelayan membawa bahan bakar, merokok dan kegiatan memasak di atas perahu.
Posisi nelayan ini berdekatan dengan operasional pengolahan gas di rig. “Kegiatan nelayan di sekitar rig ini berpotensi menimbulkan accident,” kata Abdi.
Untuk itu, menurut Abdi, upaya yang perlu dilakukan, antara lain memberikan mitigasi dan perlindungan kepada nelayan dalam beraktivitas di laut. Kemudian, menjaga agar operasional obyek vital nasional yang bersifat strategi di laut.
Pemerintah daerah perlu meningkatkan kesadaran nelayan untuk tidak melakukan aktivitas di sekitar rig migas di Anambas.
Terdapat sekitar 9 sampai 10 rig/platform yang menjadi sasaran nelayan tradisional dalam menangkap ikan. Seperti di Anambas, ada dua jenis ukuran kapal yang digunakan untuk melaut. Pertama, kapal dengan ukuran 3 – 5 GT dengan modal kerja Rp 1,5 sampai 3 juta. Waktu menangkap ikan 5 sampai 7 hari.
Kedua, kapal dengan ukuran 7 – 8 GT, dengan modal kerja Rp 3 sampai 4 juta, dengan waktu menangkap ikan 7 sampai 10 hari. Kapal ikan tersebut berisi 2 – 3 nelayan, terdiri dari nahkoda dan dua nelayan.
Yang sering melakukan penangkapan ikan didekat rig, ada sekitar 124 armada tangkap di Anambas.
Peneliti DFW-Indonesia, Hartono mengatakan perlu ada upaya sinergis antara pemerintah daerah, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) dan Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas untuk membuat program bersama. Tujuannya, agar nelayan bisa memahami potensi bahaya jika beraktivitas di sekitar rig/platform.
“Pemerintah daerah berkepentingan untuk memberikan perlindungan maksimal kepada para nelayan agar dapat beraktivitas secara bertanggungjawab dan mengutamakan keselamatan di laut dengan sosialisasi dan pendampingan yang intensif,” kata Hartono.
Menurut Hartono, perlu didorong adanya kesepakatan dan kesepahaman bersama di tingkat nelayan agar tidak melakukan penangkapan ikan pada batas perimeter yang ditentukan. Sebagai pemilik rig/platform K3S perlu melengkapai batas dan tanda-tanda di sekitar rig.
“Dengan tanda tersebut, nelayan tradisional bisa melihat batas aman dalam melakukan aktivitas penangkapan ikan,” katanya.*
Komentar tentang post