Darilaut – Pagi itu langit cerah. Minan (50 tahun) termangu. Langit yang cerah, tapi membuat Minan yang tidak mengenakan pakaian itu terlihat gerah, bulir-bulir keringat muncul di kulitnya.
Minan risau dengan suara batuk anak-anak yang tidak henti. Udara panas di bawah pondok-pondok kebun sawit tempat mereka menumpang itu terasa pengap, semakin meriuhkan batuk yang bersahutan.
Minan adalah salah satu kelompok Orang Rimba, yang juga Tumenggung (pemimpin) suku pedalaman di Jambi. Mereka tinggal di kebun sawit warga Desa Rejo Sari Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin. Kelompok ini terdiri dari 9 KK.
Hidup dalam pondok-pondok sederhana beratapkan terpal berlantaikan jejeran kayu kecil ataupun pelepah sawit.
“Akeh harop ko bebudak iyoy, beik, Hopi sakit lagi (Saya berharap anak-anak ini segera sembuh, tidak sakit lagi),” ujar Minan.
Sehubungan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (International Day of the World’s Indigenous Peoples) tanggal 9 Agustus, yang diperingati setiap tahunnya, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi menyoroti masalah kesehatan dan perubahan iklim yang dialami Orang Rimba.
Batuk di kelompok ini sudah berlangsung cukup lama. Awalnya dikira batuk biasa. Hanya saja, pada 2022 lalu, ditemukan satu anak meninggal dunia dengan status positif TBC. Awalnya pasien sempat menjalani pengobatan, setelah hasil laboratorium menunjukkan positif TB paru.
Komentar tentang post