Memasuki tahun terakhir pemerintahan Jokowi-JK, pelaksanaan pembangunan kelautan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 16/2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia (KKI) dirasakan masih sangat lemah. Perpres yang diharapkan menjadi panduan umum kementerian dan lembaga dalam merumuskan program kelautan belum sepenuhnya diacu. Akibatnya adalah kesenjangan dan konflik pembangunan antar sektor masih sulit diatasi, alokasi dan kerangka pendanaan yang tidak sinkron dengan kerangka program kelautan serta keterlambatan eksekusi program prioritas sebagaimana diamanahkan oleh Perpres.
Peneliti Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Widya Savitri mengatakan bahwa lemahnya implementasi Perpres KKI karena koordinasi antar sektor dilingkup Kementerian Kemaritiman yang tidak berjalan dengan baik. “Dalam berbagai kesempatan terdapat perbedaan pendapat antara Menko Maritim dan Menteri Kelautan dalam hal garam, industrialisasi perikanan dan penegakan hukum bagi kapal pencuri ikan” kata Widya.
Hal ini menunjukan bahwa kementerian dalam lingkup koordinasi kementerian kemaritiman memiliki tafsir yang berbeda tentang pelaksanaan Perpres KKI.
Selain itu, hambatan regulasi mengakibatkan tumpang tindih kewenangan pengelolaan sumberdaya laut oleh berbagai instansi pemerintah belum dapat diselesaikan hingga saat ini. “PP tentang Tata Ruang Laut Nasional dan PP tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan Pesisir belum definitive ditetapkan oleh pemerintah” kata Widya.
Hal ini menyebabkan ketidakpastian aturan investasi di pesisir serta kesemrawutan pemanfatan badan dan dasar laut oleh aktivitas pembangunan. Padahal upaya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim dunia membutuhkan pijakan regulasi pembangunan yang kuat terutama untuk menjaga sumberdaya di pesisir dan laut lepas.
Sementara itu, Koordinator Nasional DFW-Indonesia mengatakan bahwa memasuki tahun 2019, pelaksanaan Perpres KKI akan semakin berat sebab fokus pemerintah lebih pada penanangan masalah sosial dan stabilitas politik. Rencana Kerja Pemerintah 2019 jauh meninggalkan napas Perpres KKI yang dapat dilihat dari rancangan program pemerintah dan rencana alokasi angggaran pada sektor kelautan. “Tidak ada konektivitas antara Perpres 16/2017 tentang KKI dan semangat penyusunan Rencana Kerja Pemerintah 2019 sehingga kesenjangan program dan pendanaan pembangunan kelautan masih saja terjadi” kata Abdi.
Salah satu isu fundamental yang dihadapi bangsa ini adalah menurunnya jumlah nelayan dari 1,6 juta orang pada tahun 2003 menjadi tinggal 800 ribu jiwa pada tahun 2013. Pemerintah belum mempunyai skenario untuk menjaga agar profesi nelayan tidak terus berkurang. Hal ini penting mengingat potensi sumberdaya ikan yang terindikasi meningkat memerlukan sumberdaya manusia nelayan yang terampil.
Dalam sisa waktu yang tersedia, pemerintah perlu mengevaluasi pelaksanaan Perpres KKI dan menyiapkan skenario lanjutan untuk kerangka waktu 2020-2024 agar Kebijakan Kelautan Indonesia dalam fase kedua tersebut bisa lebih fokus dengan dukungan kapasitas eksekusi program yang lebih baik.
Komentar tentang post