Impor Tuna-Tongkol-Cakalang Indonesia Justru Meningkat di Tengah Pandemi Covid-19

Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis atau Skipjack). FOTO: DARILAUT.ID

Darilaut – Indeks Perdagangan Tuna-Tongkol-Cakalang Indonesia pada periode Januari – April 2020 mengalami penurunan, dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Di tengah pandemi Covid-19, justru nilai impor Tuna-Tongkol-Cakalang (TTC) mengalami peningkatan.

Kenaikan kinerja ekspor perikanan triwulan 1 pada 2020 ternyata berbanding terbalik dengan kinerja nilai tukar nelayan yang terus menurun. Bahkan sudah dibawah nilai 100.

Apa yang menjadi penyebabnya? Komoditas tuna merupakan salah satu yang mengalami peningkatan ekspor di triwulan 1 2020. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen penangkap tuna di indonesia adalah nelayan kecil. Artinya, kalau kinerja ekspor naik nilai tukar nelayan pun mengalami kenaikan, tapi pada triwulan 1 tahun 2020, hal ini tidak terjadi

“Periode Januari-April 2020 Volume ekspor TTC naik 16,08 persen dan Volume impor naik 126,87 persen, dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Pada perode tersebut volume impor dari China naik 858,67 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019,” kata Peneliti Ekonomi Kelautan Tropika Dr Suhana, M.Si, Selasa (30/6).

Untuk itu, Suhana meminta agar pemerintah perlu meninjau kembali izin impor ikan Cakalang, khususnya yang bersumber dari China. Hal ini guna menghindari terulangnya masalah lama dalam perdagangan produk perikanan Indonesia.

Dr Suhana, M.Si

“Perlu diingat bahwa produk perikanan Indonesia pernah di ban oleh pasar USA karena terbukti melakukan re-ekspor udang dari China ke USA,” ujar Suhana yang juga ahli Ekonomi Kelautan ini.

Impor tuna menurut jenis pada periode Januari hingga April, untuk Skipjack (cakalang) tahun 2019 sebanyak 3,077,947 kilo gram senilai USD 4,882,803 dan tahun 2020 sebanyak 9,602,747 kilo gram senilai USD 11,395,788.

Jenis Yellowfin tuna (Thunnus albacares) sebanyak 1,913,344 kilo gram senilai USD 4,004,316 dan tahun 2020 sebanyak 4,004,316 kilogram dengan nilai USD 6,001,390.

Menurut Suhana, untuk mengendalikan izin impor ikan harusnya memperhatikan produksi ikan nasional. Oleh sebab itu, sinkronisasi izin impor dengan produksi nelayan nasional sangat diperlukan.

Dengan demikian, kata Suhana, pemerintah perlu meninjau kembali PP No 9 Tahun 2018 guna mengembalikan lagi kewenangan pemberian izin impor bahan baku industri perikanan dari Kementerian Perindustrian ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Hal ini dimaksudkan agar pengendalian impor produk perikanan sepenuhnya dikendalikan oleh satu institusi yang paling kompeten .

Menurut Suhana, satu hal lagi terkait bantuan soaial ikan sarden kaleng, bahan baku adalah produk impor. Jadi, yang menggunakan bahan baku impor, tidak akan berdampak pada nelayan domestik.

Terkait dengan kondisi ekonomi perikanan dan nelayan di masa pandemo Covid-19, perlu mempercepat implementasi bantuan sosial bagi keluarga nelayan. Bantuan ini untuk meringankan beban pengeluaran keluarga nelayan kecil.

Suhana mengatakan, BUMN Perikanan seperti Perindo dan Perinus perlu mempercepat penyerapan hasil produksi nelayan nasional supaya harga ikan di tingkat nelayan tidak anjlok terlalu besar. Sehingga pendapatan nelayan dapat terus terjaga dengan baik.

Karena itu, untuk memperkuat logistik perikanan antar pulau, lalulintas ikan antar pulau dapat lebih lancer. Dengan demikian, pasokan bahan baku pada Unit Pengolahan Ikan (UPI) dapat disuplai oleh hasil produksi ikan nasional.

Menyangkut alat tangkap perikanan, kata Suhana,”Pemerintah harus konsisten dalam melarang alat tangkap tidak ramah lingkungan.”*

Exit mobile version