Jakarta – Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza mengatakan, BPPT siap untuk membangun fasilitas teknologi deteksi dini tsunami seperti BUOY ataupun Kabel Bawah Laut.
“Ini penting berkaca pada 14 tahun tsunami di Aceh tahun 2004 lalu, hingga bencana di Lombok, Palu, bahkan di Anyer tahun 2018 ,” kata Hammam.
Menurut Hammam, kejadian ini patut menyadarkan betapa pentingnya Indonesia untuk segera membangun BUOY atau kabel bawah laut atau Cable Based Tsunameter.
Terpaan berkali-kali musibah tsunami, membuat para perekayasa BPPT mencari solusi teknologi terbaik sebagai peringatan dini tsunami. Indonesia sempat menggunakan teknologi BUOY sebagai alat pendeteksi dini bencana tsunami.
Saat itu, BPPT dilibatkan bersama instansi pemerintah lainnya, dalam melakukan deployment BUOY ke Samudera Indonesia untuk dipasang di beberapa titik. “Tapi ya, saat ini BUOY di Indonesia sudah tidak ada karena perilaku vandalisme yang dilakukan oknum,” ujarnya.
Hammam mengatakan, BPPT siap membangun BUOY pendeteksi tsunami. Saat ini BPPT pun siap jika ditunjuk untuk membuatnya lagi.
Keberadaan BUOY penting guna mengirimkan sinyal terkini ketika ada gelombang tinggi di tengah laut yang diduga berpotensi menjadi tsunami muncul. BUOY terus menerus mengirimkan sinyal ke pusat monitoring secara real time, jika ada gelombang yang melewatinya.
Semakin tinggi dan kencang gelombang, maka sinyal yang dikirim frekuensi-nya akan semakin rapat dan bisa berkali-kali dalam hitungan detik.
Hal ini yang dapat menjadi dasar untuk mewaspadai, serta mendukung kesiapsiagaan bencana. Adanya langkah mitigasi imbuhnya, sangat penting bagi masyarakat atau penduduk yang bermukim di wilayah yang rentan terhadap terpaan bencana.
Masyarakat di wilayah berpotensi bencana, khususnya tsunami harus memiliki waktu evakuasi yang cukup. Untuk itu, dibutuhkan teknologi yang mampu mendeteksi dini atau early warning system, baik untuk tsunami maupun bencana lainnya.
Deteksi Tsunami Bawah Laut
BPPT menawarkan teknologi lain yang memungkinkan untuk melengkapi keberadaan BUOY. Teknologi tersebut adalah Cable Based Tsunameter atau CBT.
Teknologi CBT sudah digunakan di Jepang dan mampu mendeteksi tsunami dengan baik. Namun perlu ditekankan bahwa kedua peralatan itu, CBT dan BUOY, saling melengkapi, baik fungsi dan kegunaannya.
“Sifat keduanya adalah saling melengkapi, sehingga hasil deteksi dini yang menjadi parameternya, menjadi semakin presisi dan akurat,” katanya.
Sistem CBT dapat menjadi program nasional, seiring dengan adanya sistem komunikasi kabel laut broadband network Palapa Ring, yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Jadi CBT ini merupakan kabel bawah laut yang dilengkapi sensor untuk mengukur perubahan tekanan dalam laut yang ekstrem, yang mengindikasikan tsunami. Sensor akan mengirimkan data melalui satelit kepada pusat penerima data.
Biaya dan Waktu
Hammam mengatakan, proses pembuatan fasilitas CBT menghabiskan biaya yang lebih mahal dari pembuatan BUOY. Pembuatan BUOY menghabiskan miliaran rupiah dan CBT mencapai triliunan.
Dari aspek perawatannya CBT lebih murah, BUOY akan lebih mahal. Dari waktu pembangunan, BUOY lebih cepat bisa hitungan bulan, CBT akan lebih lama, bisa tahunan. Ini hitung-hitungan kalau membuat peralatan baru.
Kendala pembangunan CBT, belum seluruh wilayah Indonesia memiliki jaringan kabel bawah laut Palapa Ring. Untuk itu, pembangunan BUOY juga tetap dilakukan untuk di beberapa titik.
CBT tidak bisa meng-cover semuanya, karena Palapa Ring belum ada di seluruh wilayah di Indonesia. Jadi , mau tidak mau pembangunan BUOY tetap harus dilakukan. “Tinggal kita lengkapi dengan GPS dan dapat diawasi titik deployment-nya oleh TNI maupun Polri di perairan lepas,” katanya.*
Komentar tentang post