Jakarta – Kegagalan usaha udang windu sejak dua dekade lalu jangan terulang kembali. Keterpurukan budidaya udang windu ini disinyalir karena pola pengelolaan yang mengabaikan prinsip-prinsip budidaya yang bertangung-jawab.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Slamet Soebjakto mengatakan, prinsip-prinsip sustainable aquaculture menjadi hal mutlak yang harus dipenuhi, jika ingin ada jaminan usaha budidaya dapat berkelanjutan. Apalagi, permintaan pasar udang windu terbuka luas.
“Saat ini ada image bahwa akuakultur ini menjadi penyebab menurunnya kelestarian sumber daya ikan,” kata Slamet saat membuka lokakarya sistem pengelolaan budidaya udang windu di Jakarta, Rabu (15/8). Ini terjadi akibat eksploitasi sumber induk dan benih yang berasal dari alam.
Lokakarya digelar atas kerja sama KKP dan World Wild Foundation ( WWF). Tujuan lokakarya untuk menghasilkan dokumen sintesa terkait strategi bagi pengelolaan budidaya udang windu secara bertanggung jawab dan berkelanjutan. Hadir dalam lokakarya, perwakilan WWF, Moana Technologies, PT Atina, PT Bomar, akademisi, pakar/peneliti dan para pelaku usaha dari berbagai daerah.
Slamet menegaskan, mulai saat ini eksploitasi sumber induk dan benih dari alam harus dihentikan. Upaya yang dilakukan dengan mendorong pemuliaan induk melalui breeding program. Indonesia memiliki broodstock center khusus udang windu di BBPBAP Jepara dan BPBAP Takalar yang akan didorong untuk menghasilkan induk-induk unggul dan SPF (Spesifik Pathogen Free).
Menurut Slamet, penting untuk melakukan pengelolaan sumber daya udang windu berbasis ekosistem. Karena itu, KKP bersama WWF telah membuat percontohan implementasi budidaya berbasis ekosistem (Ecosystem Approach for Aquaculture/EAA) di Kabupaten Pinrang.
Implementasi budidaya ini dilakukan dengan menggandeng PT Bomar, sebagai eksportir udang windu. Nantinya, percontohan ini akan menjadi rujukan bagi penerapan EAA di seluruh Indonesia.
Sebagai komoditas unggulan asli Indonesia, udang windu memiliki nilai ekonomi penting, sehingga eksistensinya harus dipertahankan sebagai bagian dari plasma nutfah Indonesia. Untuk itu, pengelolaan udang windu harus mempertimbangkan kesesuaian lokasi dan konservasi sumber daya udang windu, khususnya induk-induk dari alam.
Direktur Marine and Fisheries WWF, Wawan Ridwan mengatakan, udang windu merupakan udang endemik dan menjadi keragaman plasma nutfah Indonesia. Terdapat hak ekologi terkait sumber daya udang windu ini dan Indonesia bertanggung jawab menjamin kelestarian sumber daya udang windu ini. Artinya, jika udang windu punah, negara lain bisa menuntut Indonesia.
WWF menyambut gembira komitmen KKP dalam mendorong pengelolaan akuakultur secara bertanggung jawab. Kita sering terlena dan merasa bahwa sumber daya ini tidak tak terbatas, sehingga pertimbangan carrying capacity terabaikan. “Inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan stok, imbasnya tidak ada jaminan ketersediaan bagi lintas generasi,” kata Wawan.
Menurut General Manager Moana Technology Hawaii USA, Walter Coppens, induk dan benih yang bebas penyakit menjadi syarat mutlak bagi keberhasilan budidaya udang windu. Keberhasilan selected breeding program yang dilakukan Moana, yakni kematangan gonad induk yang mampu dipersingkat dari 12 bulan menjadi hanya 9 bulan. Kemudian, sistem ketelusuran yang efektif dan jaminan terbebas dari hampir 20 jenis penyakit dan gejalanya.
Moana memberikan jaminan bahwa induk yang digunakan telah melalui seleksi yang ketat dan terbukti benih yang dihasilkan memiliki SR yang tinggi. Moana memiliki tiga lokasi multiplication senter, antara lain di Vietnam, Bangladesh dan India.
National Broodstock Center Vietnam, telah menghasilkan 60.000 induk per tahun. Ini salah satu ambisi Vietnam untuk menguasai pangsa pasar udang dunia. “Saya rasa Indonesia perlu melakukan hal yang sama agar tidak ketinggalan,” kata Walter.
Perlu diketahui, Moana Technology merupakan perusahaan yang berpusat di Hawaii, USA, yang fokus pada penyediaan induk dan benih udang windu berkualitas dan telah banyak digunakan di negara negara produsen udang di dunia.
Manajer PT Bomar, Irsan Surya Centama mengatakan potensi tambak untuk pengembangan udang windu di Sulawesi dan Kalimantan diperkirakan mencapai 263.000 ha. Tambak ini tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara dengan pembudidaya yang dapat dilibatkan mencapai 100.000 orang.
Menurut Irsan, PT Bomar akan mendorong intagrated factory, dan saat ini tengah bekerjasama dengan WWF untuk memenuhi ASC (Aquaculture Stewardship Council) sertifikasi. Demand udang windu ini sangat besar dan terbuka dan kami masih kekurangan suplai.
“Indonesia punya potensi pengembangan besar, saya rasa dengan upaya pengembangan induk dan benih unggul dan pengelolaan budidaya yang berkelanjutan, peluang ini dapat kita capai,” katanya.
Direktur Perbenihan, Coco Kokarkin Soetrisno mengatakan, saat in harus menjadi titik tolak kebangkitan kembali udang windu Indonesia. Kerja sama seluruh stakeholders menjadi mutlak dibutuhkan. Pengelolaan sistem produksi mulai dari breeding program, pengelolaan budidaya, dan pendampingan menjadi hal pokok yang harus segera ditingkatkan.
Pada 2016, produksi nasional udang windu mencapai 150.860 ton atau sekitar 20,99 dari total produksi udang nasional naik sebesar 18,2 persen dibanding tahun 2015 yang mencapai 127.627 ton.*
Komentar tentang post