Darilaut – Gunung bersalju di Puncak Jaya, Pegunungan Cartenz, Papua – Indonesia, sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Bagi masyarakat adat di sekitar puncak, seperti Maximus Tipagau (39 tahun), gunung bersalju itu dianggap sakral.
Maximus, salah satu masyarakat adat Suku Moni yang mendiami Kampung Ugimba, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Maximus mengisahkan kepada BBC Indonesia, “Saya sering berburu kuskus (ke gunung) dengan ayah sejak usia enam tahun dan tidak pakai baju.”
Melansir BBC, pada 1850, luas area bersalju di sekitar Puncak Jaya sekitar 19 km2 atau seluas Bandara Soekarno Hatta di Tangerang.
Hampir satu abad kemudian, menyusut menjadi 13 km2 atau dua kali luas Kecamatan Gambir di Jakarta Pusat.
Pengurangan es terjadi akibat kenaikan suhu 0,6°C sejak tahun 1850 hingga pertengahan abad 20.
Dalam kurun waktu hampir enam dekade setelahnya, es berkurang drastis menjadi 3 km2.
Pada 2005, salju di pegunungan tropis Indonesia tinggal seluas 1,8 km2.
Kini, kenaikan suhu yang mencapai 0,85°C per tahun mempercepat salju untuk mencair.
Hasil riset analisis paleoklimat berdasarkan inti es yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bersama Ohio State University, Amerika Serikat, mencatat bahwa pencairan gletser di Puncak Jaya setiap tahunnya sangat masif.
Pada tahun 2010 ketika riset ini dimulai, dilaporkan ketebalan es mencapai 32 meter.
Namun, seiring perubahan iklim yang terjadi di dunia, hingga tahun 2015, laju penurunan ketebalan es satu meter per tahun.
Kondisi kian buruk tatkala pada tahun 2015-2016, Indonesia dilanda fenomena El Nino. Suhu permukaan menjadi lebih hangat. Akibatnya, gletser di Puncak Jaya mencair hingga lima meter per tahun.
Pada tahun 2015-2022, laju penurunan es terus terjadi dan seakan tidak terhenti.
Catatan BMKG memperlihatkan bahwa pada periode tersebut, ketebalan es mencair sebanyak 2,5 meter per tahun. Diperkirakan ketebalan es yang tersisa pada Desember 2022 hanya 6 meter.
Sementara itu, tutupan es pada tahun 2022 berada di angka 0,23 km2 atau turun sekitar 15% dari luasan pada bulan Juli tahun 2021 yaitu 0,27 km2.
“Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es Puncak Jaya,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Selasa (22/8).
Kepunahan salju abadi di Puncak Jaya berdampak besar bagi berbagai aspek kehidupan di wilayah tersebut dan ekosistem yang ada di sekitar salju abadi menjadi rentan dan terancam.
Dampak lain dari mencairnya es di Puncak Jaya adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dalam menjaga lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim sudah sepatutnya menjadi fokus dari seluruh aksi.
Mitigasi ini tentu tidak bisa dikerjakan oleh hanya segelintir orang. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran dari seluruh pihak mulai dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk saling bergandeng tangan untuk melakukan aksi-aksi nyata dalam melakukan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di dunia, khususnya di Indonesia.
Caranya, dengan melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca dan membangun energi terbarukan. Poin ini menjadi langkah penting dalam menghadapi tantangan perubahan ikim.
“Serta kerja sama lintas sektor dalam menjaga keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat di wilayah Indonesia perlu terus diperkuat,” kata Dwikorita.
Mencairnya salju abadi di Puncak Jaya, Papua, bukti nyata bagaimana perubahan iklim memberikan dampak yang tidak baik bagi kehidupan.
Keberadaan salju abadi yang menjadi kebanggaan Indonesia itu kini terancam punah dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini tentu menjadi kehilangan yang sangat signifikan bagi bangsa Indonesia.
Sumber: BBC Indonesia dan BMKG
Komentar tentang post