Darilaut – Komite Indeks Biodiversitas Indonesia – Konsorsium Biologi Indonesia (IBI-KOBI) berhasil mendata sebanyak 8.600 jenis keanekaragaman hayati. Data keanekaragaman hayati ini berada di daratan dan lautan Indonesia.
“Jadi, total sampai sekarang ada 8.600 jenis keanekaragaman hayati daratan dan lautan Indonesia yang sudah terkumpul dalam big data IBI,” kata Ketua KOBI, Prof. Budi S. Daryono, seperti dikutip dari Ugm.ac.id.
Prof. Daryono mengatakan program kurator hayati telah berjalan sejak tahun 2021 lalu. Pada batch 1 (November 2020-Januari 2022) dan batch 2 (Oktober-Desember 2021) berhasil terkumpul sebanyak 3.6000 data keanekaragaman hayati di daratan Indonesia.
Lalu, batch 3 pada Maret – Mei 2022 telah terkumpul 5.000 data keanekaragaman hayati di lautan nusantara.
Data tersebut berhasil dikumpulkan melalui Komite Indeks Biodiversitas Indonesia – Konsorsium Biologi Indonesia dalam Program Studi/ Proyek Independen – Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang berlangsung pada Maret – Mei 2022.
Program kurator hayati batch 3 kali ini diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki fakultas atau program studi bidang Biologi, Kehutanan, dan Perikanan.
Kegiatan kurator hayati ini mendukung upaya dalam membangun indikator dalam mengukur status dan tren keanekaragaman hayati Indonesia.
Beberapa di antaranya indikator keragaman spesies, kelimpahan populasi, laju kepunahan lokal, serta karbon stok dari biomass.
“Database IBI ini akan digunakan sebagai dasar untuk memberikan masukan terkait putusan dan kebijakan yang tepat bagi pemerintah untuk pembangunan berkelanjutan,” katanya.
Beberapa kegunaan data sains yang dihasilkan antara lain mengukur kinerja keanekaragaman hayati oleh daerah, pengelolaan konsensi berupa kebun, hutan tanaman industri, dan hak pengusahaan hutan.
Lalu, pengelolaan oleh masyarakat dan unit ekologi seperti ecoregion dan daerah aliran sungai.
“Data ini penting, karena tidak bisa membangun sesuatu dengan pasti tanpa ada dukungan data sehingga kita fokus untuk membenahi dan mengelola data biodiversitas Indonesia,” ujarnya.
Sebelumnya, Prof. Daryono, mengatakan Indeks Biodiversitas Indonesia sangat diperlukan untuk mengukur tren biodiversitas nasional.
Data IBI ini dibutuhkan untuk mendorong pemerintah pusat dan daerah lebih giat melakukan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Meskipun sebelumnya Indonesia menerapkan Convention on Biodiversity (CBD) dan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai landasan aksi konservasi hayati. Namun, status dan tren penurunan populasi masih terus berlanjut dan kian memprihatinkan.
Kondisi itu terjadi akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah konsumsi, serta perdagangan beragam tumbuhan dan satwa liar sebagai salah satu komoditas.
Tren penurunan keanekaragaman hayati, kata Prof. Daryono, tidak hanya terjadi di tanah air saja.
Penurunan keanekaragaman hayati juga terjadi di tingkat global. Data Living Planet Index (LPI) tahun 1970 – 2016 menyebutkan bahwa persentase rerata penurunan populasi pada mamalia, burung, amfibi, reptil dan ikan mencapai 68 persen di dunia.
Untuk itu penting menginisiasi Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) ini untuk mengukur tren biodiversitas nasional.
Indeks biodiversitas atau indeks keanekaragaman spesies merupakan indeks yang menyatakan susunan ekosistem dan komunitas penyusunnya serta kestabilan suatu ekosistem.
Indeks ini tidak hanya berupa makna, namun mengandung nilai dan konsep pelestarian keanekaragaman hayati di dunia.
Dunia internasional menyebutnya sebagai global living index yang merupakan hasil kolaborasi peneliti biodiversitas internasional dengan lembaga konservasi global.
Komentar tentang post