Kejadian tsunami ini seakan membuka memori masyarakat Sebesi dengan kekhawatiran dan kecemasan. Beragam kecemasan masyarakat Sebesi membayangkan terjadinya kembali tsunami yang lebih besar, Anak Krakatau meletus kembali, serta gempa besar yang memicu tsunami.
Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal, dalam hal ini khususnya terkait Gunung Krakatau menjadi perhatian penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan bagi masyarakat lokal.Hal ini sebagai upaya pengurangan risiko bencana.
“Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor,” kata Herry.
Menurut Herry pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural. Struktural antara lain teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana. Non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi.
Masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan. “Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui,” katanya.
Komentar tentang post