Krakatau dan Pandangan Masyarakat Sebesi

Gunung Anak Krakatau

FOTO: PVMBG BADAN GEOLOGI ESDM

Darilaut – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Kependudukan telah melakukan kajian “Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi: Antara Berkah dan Bencana”.

Studi ini dilakukan peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI, Devi Riskianingrum. Survei wawancara berlangsung pada 13-16 Oktober 2020.

Untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dengan potensi dan pengetahuan lokal yang ada, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI menyelenggarakan Webinar dengan tema “Mengenang Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Resiko Bencana di Selat Sunda” Jumat (27/8).

Devi mengatakan Pulau Sebesi, sebagai pulau yang posisinya hanya 20 KM (sekitar 10,7 mil laut) dari gunung Krakatau tak luput dari sapuan tsunami. “Hal ini menyebabkan pulau Sebesi lumpuh komunikasi dan terisolasi,” katanya.

Menurut Devi, aktivitas Anak Krakatau dari gemuruh, letusan kecil yang mengeluarkan asap, bau belerang, hujan debu vulkanik hingga tsunami di 2018 sudah biasa dirasakan oleh masyarakat di Pulau Sebesi.

Menariknya, kata Devi, risiko tinggi yang dihadapi tidak serta merta membuat masyarakat meninggalkan Pulau Sebesi. Bagi sebagian besar warga Sebesi, ketika ada aktivitasnya, maka mereka yakin Anak Krakatau tidak akan membahayakan mereka.

Di sisi lain, menurut Devi, ketika Anak Krakatau cenderung sepi aktivitas dan diam dalam periode waktu yang cukup lama, maka masyarakat justru mempertanyakan dan mengkhawatirkan kondisi ini.

“Untuk masyarakat Sebesi, geliat Anak Krakatau adalah pertanda bahwa gunung itu hidup dan tidak membahayakan, selayaknya ‘batuk’ pada anak manusia,” ujar Devi mengutip siaran pers Lipi.go.id.

Saat ini, pandangan masyarakat perlahan tetapi pasti mulai berubah, dari memandang alam sekeliling mereka termasuk Anak Krakatau sebagai berkah, kini menjadi sumber ancaman bencana.

Devi mengatakan terlepas dari ketakutan yang mulai tumbuh, masyarakat Pulau Sebesi tetap enggan untuk untuk meninggalkan tanah kelahiran mereka. Tidak ada trauma yang terlalu berat pada masyarakat Sebesi dalam merespons bencana tsunami 2018.

Mengingat kondisi alamnya membuat Pulau Sebesi menjadi salah satu unggulan destinasi wisata bahari oleh pemerintah Lampung. Pantai yang memiliki pemandangan yang indah dan berhadapan langsung dengan Gunung Anak Krakatau yang terkenal aktif menjadi salah satu unggulan pulau Sebesi.

Sejarah mencatat, erupsi Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883 atau 138 tahun silam telah memicu tsunami besar. Peristiwa tsunami di Selat Sunda pada 22 Desember 2018, merupakan bencana yang telah memberikan kenangan yang sama.

Kejadian tsunami ini seakan membuka memori masyarakat Sebesi dengan kekhawatiran dan kecemasan. Beragam kecemasan masyarakat Sebesi membayangkan terjadinya kembali tsunami yang lebih besar, Anak Krakatau meletus kembali, serta gempa besar yang memicu tsunami.

Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Herry Jogaswara mengatakan, edukasi masyarakat pada pengayaan pengetahuan lokal, dalam hal ini khususnya terkait Gunung Krakatau menjadi perhatian penting untuk memperkaya khasanah pengetahuan bagi masyarakat lokal.Hal ini sebagai upaya pengurangan risiko bencana.

“Kondisi geografis menjadikan Indonesia berpotensi sekaligus rawan bencana seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor,” kata Herry.

Menurut Herry pengelolaan bencana harus berbasis struktural dan non struktural. Struktural antara lain teknologi peringatan dini, alat pendeteksi bencana. Non struktural merupakan suatu pendidikan kebencanaan yang memberikan pertolongan pertama kali saat bencana itu terjadi.

Masyarakat Indonesia yang berada di wilayah rawan bencana harus diedukasi dan diberikan materi yang berkaitan dengan kebencanaan. “Pendidikan bencana ini juga sifatnya kontekstual dan harus selalu diperbarui,” katanya.

Exit mobile version