TSUNAMI itu bukan hal baru bagi Indonesia. Hanya namanya saja diadopsi dari bahasa Jepang, kemudian menjadi istilah internasional.
Bila kita mendengar sejarah di kampung-kampung, cerita tentang gelombang besar yang dahsyat itu ada dalam ingatan orang-orang tua.
Seperti di Parigi Moutong. Kabupaten Parigi Moutong yang terletak di Teluk Tomini, masih menyimpan sejarah dan ingatan tsunami.
Dengarlah penuturan orang-orang tua di Desa Kakorotan, yang berada di Kabupaten Talaud, jauh di dekat perbatasan Filipina.
Secara administrasi, Kakorotan mencakup tiga pulau: Kakorotan, Intata dan Malo. Dulunya, orang-orang tua mengisahkan, tiga pulau ini menyatu.
Setelah terjadi tsunami tahun 1628, pulau ini pecah menjadi tiga. Sejak terjadi tsunami, muncul sistem eha dan mane’e mulai berkembang. Eha adalah masa pantang memanfaatkan sumberdaya laut.
Masa pantang ini adalah menahan diri untuk menangkap ikan dan biota laut lainnya di lokasi yang disepakati. Mirip dengan sasi di Maluku dan Papua.
Ketika telah melewati masa pantang tiga atau enam bulan, warga menjalankan prosesi upacara mane’e. Prosesi ini, dilakukan serentak, bersama-sama melalui musyawarah.
Eha dan mane’e di Kakorotan lahir karena peristiwa tsunami.
Mari kita lihat hasil pemetaan ilmuwan kelautan. Pulau-pulau kecil di Talaud, seperti Kakorotan, sepanjang Teluk Tomini, sudah ditandai sebagai daerah potensial bencana tsunami di Indonesia.
Peristiwa tsunami lainnya di Sulawesi, pernah terjadi di Mapaga pada 1968 dan pantai barat Sulawesi tahun 1969.
Pada 2004, di Aceh, tsunami dengan gelombang dahsyat meluluhlantakan sejumlah pemukiman di pesisir.
Gelombang tsunami ini merambat pula jauh hingga ke pantai Afrika, amukanmya di 13 negara. Korban meninggal sedikitnya 200.000 orang, sebagian besar di Aceh.
Daerah potensial bencana tsunami sudah ditandai ilmuwan kelautan di sejumlah pinggiran pantai di Indonesia. Terdapat tanda hitam tebal, sebagai isyarat potensi bencana dapat terjadi. Termasuk di Donggala, pusat gempa 7,4 skala Richter yang terjadi Jumat (28/9).
Sejarah mencatat tsunami pada 1883 akibat letusan Krakatau. Kapal uap “Berouw” yang sedang berlabuh di Teluk Betung berpindah tempat sejauh 3,3 kilo meter ke lembah Sungai Kuripan karena gelombang tsunami.
Malapetaka ini menghantam pantai Sumatera dan Jawa, yang berbatasan dengan Selat Sunda.
Tsunami selalu berulang. Jumlah korban meninggal akibat peristiwa ini ratusan, puluhan ribu hingga ratusan ribu orang. Hanya kita sering abai.*
Komentar tentang post