TERBITAN koran Tjahaja Sijang, Kartas Chabar Minahassa 1869 – 1925, masih ada di perpustakaan Australia. Koleksi ini terdapat di Menzies Library di Australian National University (ANU), Canberra. Selain di Perpustakaan Australia, koleksi Tjahaja Sijang juga terdapat di Belanda.
Peneliti Agama dan Politik Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Abdul Gaffar Karim mengatakan, Tjahaja Sijang yang awalnya terbit sekali sebulan dan belakangan dua kali sebulan ini mungkin tak selalu dianggap sebagai bagian penting dari sejarah pers Indonesia, mengingat penerbitnya yang bukan ‘pribumi’.
Surat kabar Tjahaja Sijang pertama kali terbit 25 Mei 1869 di Minahasa. Penerbitan Tjahaja Sijang diprakarsai Graafland, seorang misionaris di NZG. Yang menarik tulisan-tulisan yang ada bukan hanya kejadian-kejadian di Minahasa, tetapi juga di tempat lain, seperti di Pasuruan dan Paris.
Menurut Abdul Gaffar, sulit untuk menyangkal peran sejarah yang dimainkan koran ini dalam pembentukan etnik Minahasa modern. Koran ini telah menghadirkan bahasa Melayu dalam media cetak selama masa terbitnya hingga tahun 1925. Karena itu, mendorong penguatan daya unifikasi bahasa ini dalam masyarakat Minahasa.
“Di Menzies Library di Australian National University (ANU), Canberra, saya menemukan microfiche berisi koleksi Tjahaja Sijang yang sangat lengkap, dari tahun pertama terbit hingga tahun 1925. Total terdapat 274 lembar microfiche, yang masing-masing berisi puluhan halaman Tjahaja Sijang,” kata Abdul Gaffar yang juga menekuni kajian Tata Kelola Pemilu, Desentralisasi dan Studi Demokrasi, Rabu (4/12).
Isi koran ini sangat beragam, mulai dari berita terbaru, seruan keagamaan, informasi pengetahuan umum, atau komunikasi kebijakan.
Selain digunakan dalam aktivitas misi dan pendidikan, bahasa Melayu juga digunakan oleh koran pertama yang terbit di kawasan Minahasa tersebut. Tjahaja Sijang termasuk di antara koran-koran pertama di Nusantara yang diterbitkan dalam bahasa Melayu, setelah Soerat Chabar Betawie (1858, Batavia), Soerat Kabar Melaijoe (1859, Surabaya), dan Bintang Timoer (1865, Padang).
Untuk studi S3 Ilmu Politik di UGM, Abdul Gaffar menekuni peran Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Pembahasan terkait dengan Tjahaja Sijang, terdapat di bagian peran gereja Protestan dalam renegosiasi kontrak sosial di Minahasa. Disertasi ini dalam proses persiapan untuk diterbitkan UGM Press.*
Komentar tentang post