• Terbaru
  • Trending
  • Semua
  • Berita
  • Ekspedisi
  • Tips & Trip
  • Orca
  • Kajian
  • Konservasi
  • Sampah & Polusi
Wallace

Naturalis Alfred Russel Wallace Pernah Merasakan Gempa Dahsyat di Sulawesi, Bagaimana Rasanya?

18 Oktober 2018
Hiu paus

Hiu Paus Betina Ditemukan Mati Dalam Jaring Ikan

17 Februari 2019
Advertisement
Silver Sea 2

Resmi di KKP, Menteri Susi Ingin Segera Melayarkan Kapal Silver Sea 2

16 Februari 2019
kapal MV Silver Sea 2

Jaksa Agung: Jangan Coba-coba Curi Ikan di Laut Kita

16 Februari 2019
Pencacah sampah plastik

UGM Ciptakan Mesin Pencacah Sampah Plastik untuk Bahan Campuran Aspal

15 Februari 2019
BBM ilegal

Kapal Tanker Transfer BBM Ilegal Diduga Dibeli dari Kapal Ikan

15 Februari 2019
Minggu, Februari 17, 2019
Dari Laut
  • Home
  • Berita
    • Laporan Khusus
  • Ekspedisi
  • Sampah & Polusi
  • Tips & Trip
    • Biota Eksotis
    • Ide & Inovasi
    • Travel
  • Konservasi
  • Kajian
  • Orca
    • Hiu Paus
  • Harga Ikan
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Dari Laut
Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
Home Berita Laporan Khusus

Naturalis Alfred Russel Wallace Pernah Merasakan Gempa Dahsyat di Sulawesi, Bagaimana Rasanya?

Redaksi Redaksi
18 Oktober 2018
Kategori : Laporan Khusus
0
Wallace

Alfred Russel Wallace. FOTO: REPRO

Gempa yang kuat tidak memberikan kesempatan untuk berpikir atau berharap. Gempa besar merupakan bencana alam paling destruktif dan mengerikan yang dapat melanda manusia (Wallace, 1859).

MASIH ingat dengan Alfred Russel Wallace? Naturalis Inggris yang dikenal dengan sebutan garis Wallacea.
Wallace bukan orang sembarangan. Garis persebaran fauna di Indonesia Wallace yang menetapkan dan diajarkan kepada siswa sejak Sekolah Dasar.

Ia juga sebagai pencetus teori Evolusi sejati. Taksonomi flora dan fauna di Nusantara telah dicatat Wallace. Dengan persebaran, perubahan lempeng dan masa geologis yang dibuat rinci. Wallace juga mengamati suku-suku di Kepulauan Nusantara.

Nah, bagaimana Wallace merasakan sendiri gempabumi di Celebes? Ini yang jarang diketahui dan ditulis tentang catatan perjalanan naturalis ini.

Celebes adalah sebutan untuk pulau Sulawesi di masa itu. Darilaut.id merangkum tulisan bagaimana Wallace merasakan gempa sangat dahsyat di Rurukan, Tomohon, pada 1859.

Advertisement

***

Manado, kota tercantik di timur Nusantara, bagaikan sebuah taman luas. Itulah kesan yang ditulis Wallace ketika tiba di Manado. Sebelumnya, Wallace telah melakukan perjalanan di Timur-Coupang, melewati Banda, Amboyna dan Ternate.

Wallace tiba di Manado, 10 Juni 1859. Di sisi barat dan selatan Manado, terdapat pegunungan dengan ketinggian 6000 atau 7000 kaki. Pemandangan yang luar biasa indah pada bentang alam ini.

Penduduk Minahasa, menurut Wallace, memiliki karakter khusus. Mereka tenang, lembut dan dengan cepat mengadopsi peradaban yang lebih maju.

Pada 22 Juni, Wallace melakukan perjalanan ke Lotta. Dari Lotta, mendaki enam mil dan tiba di dataran tinggi Tondano, di ketinggian 2.400 kaki. Jam satu siang, Wallace tiba di Tomohon, ibukota distrik Tondano.

Setelah bermalam ditempat itu, Wallace menempuh perjalanan ke kampung bernama Rurukan.

“Kampung ini merupakan daerah tertinggi di distrik Minahasa, dan kemungkinan di seluruh Celebes. Di sini saya memutuskan untuk singgah dan melihat pengaruh faktor ketinggian terhadap keadaan zoologi di daerah ini.”

Rurukan terletak di suatu lokasi yang datar. Terdapat jalan menurun, melalui kawasan hutan, menuju Danau Tondano yang indah, dengan gunung berapi dibaliknya.

Rurukan
Pemandangan pagi dari puncak Rurukan. FOTO: DARILAUT.ID

Di satu sisi jalan ada sebuah jurang, yang dibelakangnya terdapat kawasan pegunungan dan pemukiman yang asri. Didekat kampung terdapat perkebunan kopi.

Tana Goyang

“Pada malam hari, 29 Juni, pukul 20.15, ketika saya sedang membaca rumah saya bergetar lemah. Kemudian getaran itu bertambah kuat, dan saya duduk diam untuk merasakan sepenuhnya sensasi itu.

Namun kurang dari setengah menit, getarannya menjadi cukup kuat untuk mengguncangkan kursi tempat saya duduk dan membuat rumah bergoyang seakan-akan hendak roboh.

Teriakan-teriakan terdengar di seluruh penjuru kampung. “Tana goyang! Tana goyang!”

Semua orang lari keluar rumah. Perempuan menjerit dan anak-anak menangis. Saya pun menyadari bahwa saya juga sebaiknya keluar.

Gempa berlangsung kira-kira satu menit. Saya seperti diputar-putar dan hampir merasakan mabuk laut.

Ketika masuk ke dalam rumah, saya menemukan lampu telah jatuh. Penyangga lampu bahkan terlempar dari wadahnya. Gempa tersebut merambat vertikal, dengan kecepatan dan intesitas getaran yang tinggi.

Penduduk setempat, satu dekade sebelumnya, pernah mengalami gempa yang lebih dahsyat. Gempa ini meruntuhkan rumah-rumah dan menewaskan banyak orang.

Selang 10 hingga 30 menit, gempa berskala rendah terus terjadi. Terkadang cukup kuat. Orang-orang berlarian keluar rumah.

Selama dua hari, dua malam berikutnya, getaran terus terjadi. Dalam selang waktu yang singkat dan beberapa kali sehari selama seminggu.

Ini menunjukkan adanya gangguan yang cukup besar dibawah lapisan kulit bumi. Seberapa besar potensi kekuatan gempa tersebut, hanya dapat dirasakan ketika kita melihat ke seberang bukit dan lembah, serta daratan dan pegunungan.

Setelah merasakan gempa, kita akan menyadari bahwa kumpulan massa yang sangat besar tersebut, juga turut terguncang dalam intensitas tertentu. Kita dapat merasakan kekuatan yang jauh mengalahkan gelombang angin dan air yang paling dahsyat sekalipun, namun efek yang ditimbulkan lebih menggetarkan alih-alih mengerikan.

Terdapat misteri dan ketidakpastian mengenai bahaya sesungguhnya dari gempa yang kami rasakan. Imajinasi kami berkembang dan menumbuhkan rasa harap-harap cemas. Namun, perasaan seperti ini hanya berlaku untuk gempa biasa.

Gempa yang kuat tidak memberikan kesempatan untuk berpikir atau berharap. Gempa besar merupakan bencana alam paling destruktif dan mengerikan yang dapat melanda manusia.”

Sumber: Wallace, Alfred Russel. Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia dan Alam. Penerbit Komunitas Bambu, 2009. Judul asli: The Malay Archipelago. Penebit Macmillan and Company, London. 1869.

Tags: GempaSulawesiWallace
BagikanTweetBagikanKirim

Berlangganan untuk menerima notifikasi berita terbaru Dari Laut Indonesia

Berhenti Berlangganan
Pos Sebelumnya

Menteri Susi: Kita Tidak Mau Omong-omong Saja

Pos Selanjutnya

Target, 70 Persen Wilayah Papua Barat Kawasan Konservasi

Pos Selanjutnya
Papua Barat

Target, 70 Persen Wilayah Papua Barat Kawasan Konservasi

OOC

Perikanan Berkelanjutan Diusung dalam Penyelenggaraan OOC di Bali

Komentar tentang post

Bandung, Indonesia
Minggu, Februari 17, 2019
Mostly Cloudy
20 ° c
94%
4mh
-%
25 c 18 c
Sab
25 c 19 c
Ming
26 c 17 c
Sen
25 c 19 c
Sel

Berlangganan untuk menerima notifikasi berita terbaru Dari Laut Indonesia

Berlangganan

Rekomendasi

Berita

Gelombang Laut di Anyer Bukan Tsunami

22 Desember 2018
Berita

Perizinan Kapal untuk Menjaga Kelestarian Ikan

6 September 2018
Tips & Trip

Tokyo University Jalin Kerjasama dengan FPIK Unsrat

25 Agustus 2018
Tips & Trip

Tiga Hal Tentang Ubur-ubur

31 Agustus 2018
Ekspedisi

Layar Terkembang Ekspedisi Pinisi Bakti Nusa

19 Desember 2018
Hiu Paus

Berdiri dan Berpose di Atas Satwa Laut yang Sudah Mati

28 Agustus 2018
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kebijakan Privasi
  • Pedoman
Email : [email protected]

Copyright © 2018 Darilaut.ID.

Tidak ada hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Berita
    • Laporan Khusus
  • Ekspedisi
  • Sampah & Polusi
  • Tips & Trip
    • Biota Eksotis
    • Ide & Inovasi
    • Travel
  • Kajian
  • Konservasi
  • Orca
    • Hiu Paus

Copyright © 2018 Darilaut.ID.

Masuk Akun

Lupa Password? Mendaftar

Isi formulir di bawah ini untuk mendaftar

*By registering into our website, you agree to the Terms & Conditions and Privacy Policy.
Isi semua yang diperlukan Masuk

Ambil password

Masukan username atau email untuk mereset password

Masuk
This website uses cookies. By continuing to use this website you are giving consent to cookies being used. Visit our Privacy and Cookie Policy.