JANGAN menangkap gurita di Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Turun-temurun, nelayan dan masyarakat Aru, percaya menangkap gurita itu tidak baik.
Meski harga gurita di pasar domestik dan luar negeri terus membaik, bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram, tak membuat nelayan di Kepulauan Aru tergiur untuk menangkap gurita.
“Gurita itu pamali, dilarang,” kata Kepala Seksi Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru, Robo Keluarani.
Pamali berarti pantangan atau larangan berdasarkan adat dan kebiasaan.
Tidak adanya tangkapan gurita juga tercermin dalam produksi komoditi hasil laut yang dikeluarkan Dinas Perikanan Kabupaten Kepulauan Aru tahun 2018. Komoditi hasil laut untuk gurita “0”.
Kepulauan Aru dikelilingi Laut Aru dan Arafura. Kawasan ini memiliki potensi perikanan yang besar, baik itu ikan pelagis besar, kecil dan demersal. Potensi lainnya adalah ikan karang, ikan hias, rumput laut, kerang-kerangan, mutiara, udang, lobster, kepiting dan cumi-cumi.
Pada 2009, jumlah nelayan di Kepulauan Aru sebanyak 18.519 orang. Pada 2019, jumlah nelayan bertambah menjadi 24 ribu orang.
Alat tangkap nelayan bervariasi, seperti pancing, jaring insang, bubu, sero dan jaring lingkar (purse seine). Sebagian besar nelayan ini menangkap ikan di pesisir Aru.
Meski memiliki beragam potensi hasil laut, nelayan di Kepulauan Aru memberlakukan cara menabung sumberdaya alam, seperti sasi.
Sasi Lobster
Jutaan benih lobster coba diselundupkan keluar dari Indonesia. Benih lobster ini dikemas dengan berbagai model untuk dikirim melalui bandar udara, pelabuhan perikanan dan laut. Pemerintah telah menggagalkan upaya penyelundupan jutaan benih lobster tersebut, terutama di tahun 2018 dan 2019 ini.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti terus mensosialisasikan larangan menangkap benih lobster di perairan Indonesia.
“Semoga tidak ada lagi yang coba-coba menangkap benih lobster seperti ini ya. Biarkan bayi-bayi lobster itu tumbuh jadi remaja hingga dewasa supaya bisa berkembang biak. Kalau masih bayi begini sudah ditangkapin, nanti di mana lagi kita bisa dapet lobster? Ayo kita jaga sama-sama,” kata Susi.
Untuk menjaga keberlanjutan lobster dan komoditi laut lainnya, nelayan di sejumlah tempat di Maluku sebenarnya sudah memberlakukan larangan tersebut. Salah satunya, di Kepulauan Aru.

Larangan dengan pembatasan pemanfaatan ini dikenal dengan sasi. Sasi lobster misalnya telah diterapkan di Desa Jabulenga dan Lutur.
Masyarakat menerapkan sasi lobster dan komoditi laut lainnya untuk mencegah pengambilan hasil laut dalam masa tertentu.
Nantinya, bila telah melewati jangka waktu tertentu, komoditi laut ini bisa dipanen secara bersama-sama.
Berdasarkan data di Dinas Perikanan kabupaten Kepulauan Aru, pada 2018, produksi lobster mutiara sebanyak 7.247,30 kilo gram (kg) dan lobster bambu 16.589, 40 kg. Produksi udang putih sebanyak 76.693 kg, kepiting bakau 154.545 kg dan kepiting rajungan rebus 24.549 kg.
Berbagai kearifan lokal di Kepulauan Aru dan daerah lain di Maluku, sejatinya diikuti pula oleh pendatang maupun nelayan-nelayan yang menangkap ikan di perairan setempat.
Gesekan nelayan-nelayan kecil dengan kapal-kapal ikan di atas 30 Gros Ton, perlu dihindari. Hal ini mengingat Kepulauan Aru berada di pusat potensi komoditi hasil laut terbesar di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718.*
Komentar tentang post