Literasi Sejarah Kebencanaan, Gempa Dahsyat Disusul Tsunami di Ambon Tahun 1674

Georgius Everhadus Rumphius (1627- 1702). DOK. ISTIMEWA

Darilaut – Gempa sangat dahsyat mengguncang Ambon dan sekitarnya. Gempabumi disusul dengan tsunami ini terjadi tahun 1674.

Dalam naskah yang diterbitkan tahun 1675, Rumphius memberi judul “Waerachtigh Verhael van der Schierlijke Aerdbevinge” atau Kisah Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat.

Menurut ilmuwan kelautan Dr Anugerah Nontji (2009) naskah ini sebagai laporan tertulis tertua mengenai gempa dan tsunami di Indonesia.

Rumphius dengan nama lengkap Georgius Everhadus Rumphius, lahir di Jerman, pada 1627. Ia kemudian masuk dinas militer Belanda.

Namun, masa dinasnya sebagai anggota militer Belanda tidak berlangsung lama. Karena minat Rumphius pada botani dan zoologi, ia memilih tak lagi bekerja di dinas militer.

Ambon merupakan pilihan hidup selanjutnya. Rumphius menghabiskan hidupnya di daerah kepulauan itu. Sejumlah karya lahir dari daerah ini, dari gagasan dan pemikiran Rumphius.

Pekan lalu, Rabu (21/10) dan Kamis (22/10), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaksanakan workshop dan kunjungan lapangan untuk pengembangan sistem literasi sejarah kebencanaan di Provinsi Maluku.

Kunjungan lapangan dilakukan oleh tim literasi untuk menggali informasi sejarah kebencanaan di Maluku di 3 tempat yaitu Perpustakaan Rumphius, Perpustakaan Daerah Provinsi Maluku, dan Benteng Amsterdam.

Perpustakaan Rumphius, diambil dari nama seorang ilmuwan, ahli Botani yang selama 50 tahun mengabdikan hidupnya untuk meneliti kekayaan alam Maluku.

Dalam perpustakaan ini tersimpan sekitar 10.000 literatur sejarah dari buku ensiklopedia tua, peta Indonesia yang masih dibuat dengan bantuan kompas, buku seri internasional dan juga buku-buku terkait sejarah kejadian bencana di Maluku.

Dalam salah satu karyanya, Rumphius telah mengisahkan bahwa Ambon dan pulau sekitarnya pernah mengalami bencana tsunami terbesar dalam sejarah perjalanan Nusantara yang terjadi pada 17 Februari 1674.

Tsunami dengan ketinggian lebih dari 80 meter tersebut meluluh-lantahkkan setidaknya 13 desa di antaranya Larike, Nusatelo, Orien, Lima, Seyt, Hila, Hitu Lama, Mamala, Thiel, Seram kecil, Oma Honimoha, Nusa Laut, Paso Baguala yang berada di Pulau Ambon dan Seram.

Kejadian ini menyebabkan 2.322 orang meninggal dunia. Benteng Amsterdam yang berada di Desa Hila merupakan bukti sejarah dari dahsyatnya bencana tersebut yang menyebabkan bangunannya mengalami kerusakan parah.

Workshop Sistem Literasi Sejarah Kebencanaan ini dihadiri BPBD Provinsi Maluku, Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Maluku, BPBD Kota Ambon, BPBD Kabupaten Seram Bagian Barat, BPBD Kabupaten Maluku Barat Daya, dan BPBD Kabupaten Seram Bagian Timur.

Selain itu kegiatan workshop juga dihadiri secara daring oleh perwakilan dari UPN Veteran Yogyakarta, TDMRC Universitas Syiah Kuala, U-INSPIRE, dan CARI.

Direktur Sistem PB, Dr Udrekh mengatakan, literasi kebencanaan adalah pengalaman berharga yang menjadi landasan ilmu pengetahuan di masa depan.

Arsip, kata Udrekh, perlu dikumpulkan dan disimpan. Sehingga nantinya menjadi perpustakaan yang dapat digunakan bangsa Indonesia dan dunia.

Upaya ini harus dikelola dengan baik dan diseminasi ke seluruh pemangku kepentingan untuk meningkatkan pengetahuan kita bersama di masa depan.

Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi Maluku, John M Hursepuny, Maluku bagai 2 sisi mata uang.

Selain dikenal memiliki potensi sumber daya alam dan rempah-rempah yang memikat bangsa asing, provinsi ini juga memiliki berbagai ancaman bencana baik geologi maupun hidrometeorologi.

Ancaman bencana hidrometeorologi sering terjadi, namun dampak bencana yang besar disebabkan oleh bencana geologi.

Tercatat beberapa gempa besar dan tsunami pernah terjadi di Maluku yang menyadarkan kita untuk hidup berdampingan dengan risiko bencana yang tinggi.

Exit mobile version