Khoirunnisa juga menjelaskan mengenai kerangka hukum yang sama di Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019, yakni UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pilkada mengacu pada UU No 10 Tahun 2016 (UU No 6 Tahun 2020).
Meskipun dalam kerangka hukum yang sama, menurut Khoirunnisa, terdapat perbedaan mendasar yaitu adanya transformasi digital yang menjadikan teknologi rekapitulasi suara sebagai kebutuhan utama agar tidak terjadi pergeseran suara.
“Karena kita tahu rekapitulasi manual membutuhkan waktu 35 hari setelah Pemilu berlangsung,” kata Khoirunnisa seperti dikutip dari Ugm.ac.id.
“Soal transformasi digital ini telah menjadi perhatian KPU dengan tujuan agar terjadi transparansi kepada publik lewat Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL), aplikasi Sistem Informasi Data Pemilih (SIDALIH), dan sebagainya.”
Menurut Khoirunnisa pemilu 2024 akan diwarnai oleh hadirnya para pemilih baru yang erat kaitannya dengan keberadaan sosial media. Oleh karena itu, melalui platform inilah informasi-informasi mengenai pemilu hingga kampanye akan didistribusikan.
Meski begitu, kata Khoirunnisa, belum ada mitigasi risiko di media sosial. Risiko seperti disinformasi dan transparansi, sehingga diperlukan penanganan serius utamanya terkait penangkalan disinformasi.
Hal-hal semacam ini tentunya akan menjadi petunjuk utama dalam mengidentifikasi. Politik identitas menjadi mobilisasi politik untuk membangun sentimen emosional dikhawatirkan menjadikan pemilih muda sebagai komoditas politik akan terombang-ambing kepada kandidat tertentu. Karena itu, harus cerdas bisa menganalisis hal semacam ini.
Komentar tentang post