Mengapa Cantrang Harus Dilarang?

Kapal ikan

FOTO: KKP.GO.ID

DEMONSTRASI berbalas demonstrasi menghiasi pemberitaan dari sejumlah daerah setelah keluarnya larangan penggunaan alat tangkap ikan cantrang di perairan Indonesia.

Ada nelayan yang meminta secara tegas untuk menghentikan pengoperasian cantrang, ada pula kelompok pendukung yang ingin alat tangkap tersebut tetap bisa digunakan.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), cantrang berbentuk kantong yang terbuat dari jaring dengan 2 panel yang tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring. Bentuk konstruksi cantrang tidak memiliki medan jaring atas, sayap pendek dan tali selambar panjang.

Alat tangkap ini bersifat aktif dengan pengoperasian menyentuh dasar perairan. Cantrang dioperasikan dengan menebar tali selambar secara melingkar, dilanjutkan dengan menurunkan jaring cantrang, kemudian kedua ujung tali selambar dipertemukan.

Kedua ujung tali tersebut kemudian ditarik ke arah kapal sampai seluruh bagian kantong jaring terangkat.

Penggunaan tali selambar yang mencapai panjang lebih dari 1.000 m (masing-masing sisi kanan dan kiri 500 m) menyebabkan sapuan lintasan tali selambar sangat luas.

Ukuran cantrang dan panjang tali selambar yang digunakan tergantung ukuran kapal. Kapal yang berukuran di atas tonase kotor (gross tonnage, GT) 30 dilengkapi dengan ruang penyimpanan berpendingin (cold storage). Cantrang dioperasikan dengan tali selambar sepanjang 6.000 m.

Secara sederhana, jika keliling lingkaran 6.000 m, diperoleh luas daerah sapuan tali selambar adalah 289 Ha. Penarikan jaring menyebabkan terjadi pengadukan dasar perairan yang dapat menimbulkan kerusakan dasar perairan sehingga menimbulkan dampak signifikan terhadap ekosistem dasar bawah laut.

Pada 2008, Universitas Diponegoro (Undip) melakukan penelitian di Tegal soal penggunaan cantrang ini. Hasil penelitian untuk penggunaan cantrang, alat tangkap ini hanya dapat menangkap 46 persen ikan target. Sebanyak 54 persen lainnya non target yang didominasi ikan rucah.

Ikan hasil tangkapan cantrang ini umumnya dimanfaatkan pabrik surimi dan dibeli dengan harga maksimal 5000/kg. Tangkapan non target, digunakan sebagai pembuatan bahan tepung ikan untuk pakan ternak.

Pada 2009, Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penelitian di Brondong – Lamongan. Hasilnya, hanya 51persen tangkapan cantrang berupa ikan target. Sisanya 49 persen ikan non target.

Menurut data WWF Indonesia, sekitar 60-82 persen hasil cantrang adalah tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan. Selain itu, cantrang selama ini telah menimbulkan konflik horizontal antar nelayan. Konflik penggunaan cantrang ini sudah berlangsung lama, bahkan sudah terjadi pembakaran kapal-kapal cantrang oleh masyarakat.

Dalam perkembangan pengoperasian alat tangkap ikan, terjadi perubahan bentuk, model, serta cara pengoperasian. Seiring dengan itu, sebutan pun berbeda-beda. Namun, alat tangkap ini tidak sesuai dengan regulasi yang sudah ada, tetap pukat yang dilarang.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar mengatakan, penggunaan alat tangkap cantrang merusak secara ekologi. Secara ekonomi pun alat tangkap ini tidak optimal.

“Dapat menimbulkan konflik di mana-mana,” ujarnya.

Cantrang, kata Zulficar, termasuk alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.*

Exit mobile version