Darilaut – Bukan hanya di Indonesia, Prof Dr Adrian Bernard Lapian dikenal sebagai nakhoda kajian maritim Asia Tenggara.
Sosok Adrian Bernard Lapian mengawali karirnya sebagai seorang jurnalis. Kemudian menjadi ilmuwan dan sejarawan di bidang kelautan dan kemaritiman yang dikenal di tingkat regional maupun internasional.
“Karya dan gagasan beliau banyak menginspirasi bahkan mengalihkan perhatian saya dari seorang pembelajar etnologi ke fenomena sejarah, kebaharian, dan khususnya di kawasan laut Sulawesi serta perbatasan Indonesia dan Filipina,” ujar Alex John Ulaen, Peneliti di Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari, Yayasan Marin-CRC, Manado.
Hal ini disampaikan Alex untuk memperingati jasa Prof AB Lapian, sekaligus merayakan Hari Maritim Nasional yang jatuh pada 23 September 2022, yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Jumat (23/9).
Menurut Alex, A.B Lapian telah mengawali kembaranya di Kawasan Timur Nusantara dan kemudian membuka tabir Kawasan Laut Sulawesi pada masa lampau (lalu) yang belum pernah terlayari sebagai seorang Sejarawan-Maritim.
“Lambat laun melintas-batas. Menilik isi karya-karya di atas maupun kiprahnya selama bekerja di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ternyata tidak hanya sebatas persoalan “Sejarah Maritim” semata,” kata Alex.
Bersama para peneliti muda kala itu (Ary Wahyono, Dedi Supriadi Adhuri, Fadjar Ibnu Thufail, G.P. Antariksa, Sudiyono, Thung Yu Lan) dari PMB-LIPI, A.B Lapian di awal tahun 1990-an melanjutkan kelananya di sisi timur-laut Sulawesi – Kepulauan Sangihe dan Talaud (Nusa Utara) – dan bagian timur Indonesia.
“Di sana mereka menemukan pandangan nelayan tentang Hak Ulayat Laut, prinsip yang selama ini dianggap hanya berlaku di darat. Entahlah, jika mereka – dan para pakar di BRIN – masih berminat mengarungi Laut Sulawesi. Hanya mereka yang tahu jawabannya,” ujar Alex.
Selain Alex, diskusi ini menghadirkan pembicara yang sudah dikenal sebagai sahabat, teman, dan rekan kerja yang erat dengan Lapian, yaitu Taufik Abdullah. Diskusi mendalam untuk mengenang Kembali sosok Lapian dipandu Kepala Pusat Riset Kewilayahan, Fadjar Ibnu Thufail.
Taufik, yang pernah mengampu jabatan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2000 – 2002, berkisah tentang perjalanan panjang bersama sahabatnya, Lapian.
Taufik menjelaskan proses pengembangan kajian riset yang dilakukan, dengan narasi pertemanannya bersama Lapian.
Sementara Alex mengaku sangat terkesan menjadi pembicara kali ini karena sama halnya mendapat kesempatan untuk menghormati sejarawan, sekaligus guru yang berjasa di bidang kemaritiman.
Alex membahas topik “Memulung Kembara Kelana Nakhoda Kajian Maritim Indonesia”. Judul tersebut, baginya, mengandung makna analogis sosio psikologis yang membebaskan pikirannya dari persoalan legalitas. Sehingga ia bisa lebih bebas berpendapat mengagumi sosok Lapian.
Alex menyajikan data karya–karya ilmiah Lapian pada periode 1964 – 2009 dengan penemuan sejumlah 219 karya artikel dan buku khusus bertema maritim.
“Tentu saja jumlah itu tidak termasuk karya-karya lainnya lagi yang masih banyak tentunya,” kata Alex.
Lapian sangat hangat di dalam mengembangkan ilmunya, di dalam menulis karya berkolaborasi dengan berbagai pihak.
Lapian juga seorang yang melakukan proses alih rupa status yang diberikan untuk orang-orang yang bekerja di dunia kelautan.

“Bermula dari istilah yang digunakan seperti orang laut dan raja laut menjadi nelayan dan pengusaha nelayan. Hal ini yang juga menjadi catatan sejarah kehadiran para penguasa baru di Indonesia sebagai nelayan profesional,” kata Alex.
Alex mengakui kehebatan Lapian, dengan hal ini, telah mewariskan Kompas Penanda Kiblat dan semangat bahari bagi bangsa Indonesia.
Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, mengatakan, jasa seorang Lapian sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bidang kemaritiman.
“Beliaulah yang telah membangun pondasi kajian maritim di Indonesia, bahkan Asia Tenggara,” kata Handoko.
“Dengan kontribusi dan reputasi beliau pada pengembangan pengetahuan dan pemberdayaan komunitas maritim, sudah sewajarnya kita sebagai penerusnya memberikan apresiasi dan komitmen untuk terus mengembangkan apa yang telah beliau semai selama karir akademisnya.”
Komitmen besarnya tidak sebatas pada hasil karya ilmiah saja, namun juga kontribusinya pada kebijakan, advokasi, serta perhatiannya terhadap komunitas-komunitas sejarah maritim di Indonesia.
Handoko juga mengungkap karya besar Lapian yang menyingkap sejarah jalur perdagangan maritim di Maluku pada awal abad 16.
“Selain melengkapi isu maritim, perspektif yang dikembangkannya berkontribusi pada orang – orang yang seringkali dianggap marginal, baik pada realitas masa lalu maupun dalam kajian sejarah,” ujarnya.
Dalam hal ini, karir seorang Lapian sebagai nakhoda kajian maritim, dikembangkan dalam dua ranah kelembagaan baik di lembaga penelitian maupun di perguruan tinggi.
Lapian juga tidak hanya bergelut di bidang kemaritiman saja, namun juga memimpin riset-riset yang bersifat multidisiplin, seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu lingkungan, bahkan meluas pada disiplin pengembangan ilmu lainnya.
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Ahmad Najib Burhani menjelaskan bahwa AB Lapian adalah seorang sejarawan utama di Indonesia.
Jasa Lapian yang harus diingat terus, lantaran kontribusinya yang luar biasa selaku pendiri kelompok kajian maritim sekaligus menghidupkan komunitas-komunitas maritim.
Pengakuan terhadap kepiawaian Lapian, diceritakan Najib, seorang ilmuwan dari University Malaya, Saharil Kholik memberikan gelar kepada Lapian sebagai nakhoda pertama sejarawan di maritim Asia Tenggara.
“Bahkan, pada saat itu, Antonie Ray, seorang ilmuwan dari Australia Nasional University mengatakan, tidak ada sarjana Indonesia yang lebih baik darinya yang telah mendemonstrasikan keahliannya sebagai sejarawan,” kata Najib.
Indonesia telah diwarisi ilmu di bidang kemaritiman oleh Lapian dan kawan-kawan. Najib mengatakan, secara tidak langsung, Lapian mengajak agar kita menghargai bangsa Indonesia sebagai negara bahari dengan terus berkomitmen melanjutkan kerja Lapian tersebut.
Dalam kesempatan ini BRIN memberikan apresiasi penghargaan untuk mengenal sosok jasa A.B Lapian (1 September 1929 – 19 Juli 2011), kepada perwakilan keluarga, dalam hal ini dihadiri oleh Gideon Lapian.
Adrian B. Lapian lahir pada 1 September 1929 di Tegal, Jawa Tengah. Anak pertama dari tokoh pergerakan nasional di Manado B.W. Lapian, yang juga anggota Minahasaraad dan anggota Fraksi Nasional Volksraad.
Dalam buku “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut” yang diterbitkan Komunitas Bambu (2009) sebagian besar naskah tersebut berasal dari disertasinya. A.B Lapian kemudian tercatat masuk Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung) tahun 1950.
Pada 1953 A.B Lapian beralih untuk bekerja di surat kabar ibukota, The Indonesia Observer. Bidang jurnalistik telah mengantarnya menyaksikan peristiwa-peristiwa penting bersejarah, seperti Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Tahun 1956, A.B Lapian mendaftar sebagai mahasiswa sejarah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Setahun kemudian, A.B Lapian melepas pekerjaan jurnalistiknya di The Indonesia Observer dan mulai fokus pada studi sejarah.
Sumber: BRIN, Alex John Ulaen dan buku “Orang Laut Bajak Laut Raja Laut” (2009)
Komentar tentang post