Darilaut – Upaya penanganan pencemaran mikroplastik memelukan metode standar berskala global. Untuk itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) bersama-sama mencari metode terbaik dalam menangani masalah mikroplastik.
Penanganan ini dibahas melalui lokakarya bertema “Determining Microplastic Distribution in Coastal Aquaculture Input System and Developing A Mitigation Plan Towards Seafood Safety APEC OFWG 03 2021A”, di Kuta, Bali, Rabu-Jumat (8-10/11).
Kegiatan menghadirkan para ahli dari Australia, Amerika, perwakilan OFWG dari ekonomi Tiongkok, Vietnam, Chili, Thailand, Indonesia, Peru, Singapura, Jepang, dan Malaysia.
Pemerintah Indonesia secara konsisten berkerja sama dengan anggota APEC mencari solusi bersama berskala regional untuk menangani permasalahan sampah plastik dan pencemaran mikroplatik.
Penanganan masalah sampah, termasuk sampah plastik, telah menjadi kebijakan nasional yang diatur dalam Perpres No. 97 Tahun 2017. Indonesia ditargetkan tanggulangi sampah hingga 70 persen pada 2025, termasuk sampah plastik, di mana mikroplastik juga termasuk di dalamnya.
Kepala Organisasi Riset Kebumian dan Maritim BRIN Ocky Karna Radjasa, mengatakan, kontaminasi mikroplastik telah menjadi perhatian global. Indonesia saat ini menjadi penyumbang sampah plastik terbesar ke-2 di dunia.
Menurut Ocky, pemerintah tidak hanya mencari solusi dalam menangani sampah dalam arti mengoleksi, memisah, dan membakar, tetapi juga memerlukan dukungan riset terkait dengan inovasi-inovasi dalam menangani sampah, salah satunya sampah mikroplastik.
Selanjutnya, kata Ocky, Indonesia memerlukan lebih banyak pakar dalam bidang mikroplastik untuk melakukan inovasi.
Riset tidak hanya menangani masalah sampah plastik, tetapi juga mengidentifikasi dan mencari sumbernya. Konteks identifikasi sumber dan volume sampah plastik yang menuju ke laut juga masih menjadi masalah.
“Introduksi sampah plastik ke laut atau perairan tawar tidak akan bisa dicegah tanpa adanya solusi alternatif, di mana masyarakat sebagai sumber awal dari sampah plastik,” ujarnya.
“Sebagai contoh, Teluk Jakarta merupakan muara dari 19 sungai. Dalam hal ini, diperlukan solusi dalam penanganan sampah sebelum masuk ke wilayah teluk.”
“Pada konteks sampah mikroplastik di laut atau marine debris, Indoneisa sudah memiliki beberapa stasiun untuk memonitor kegiatan penanganan marine debris,” kata Ocky.
Ocky mengatakan, pergerakan mikroplastik tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Ada beberapa faktor yang memengaruhi pergerakan mikroplastik di lautan, seperti iklim, arah angin, dan arus laut.
Arus lintas Indonesia sangat berperan memfasilitasi pergerakan mikroplastik dari Pasifik ke Samudra Hindia.
Ocky menjelaskan saat ini masih belum memungkinkan untuk menghilangkan keberadaan mikroplastik, tetapi masih dapat diupayakan untuk mengurangi mikroplastik yang ada.
Selain itu, kata Ocky,”belum ada teknologi yang secara cepat atau real time dalam mengukur kandungan mikroplastik yang ada di dalam air.”
Ocky mengatakan, diperlukan riset terkait sampah laut (marine debris) dan mikroplastik yang ada di lautan, baik skala nasional, regional, maupun global.
Kegiatan ini memerlukan kolaborasi dan interkoneksi, tidak hanya fokus dengan masalah mikroplastik yang ada di laut, tetapi harus bisa menyelesaikan permasalahan yang ada di darat.
“Permasalahan sampah mikroplastik di laut tidak bisa jika hanya dilakukan oleh Indonesia dan perlu berkolaborasi dengan negara lain,” ujarnya.
Kontaminasi mikroplastik telah masuk ke dalam beberapa rantai input produksi sistem budidaya laut dan payau di Indonesia, serta hampir di seluruh anggota ekonomi APEC.
“Mikroplastik menjadi tanggung jawab bersama anggota ekonomi APEC,” kata Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Perikanan BRIN yang juga Project Overseer Hatim Albasri.
Hatim mengatakan, tujuan akhir dari kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari ini adalah merancang rekomendasi mitigasi untuk mengurangi atau menghilangkan kontaminasi mikroplastik dalam produk budi daya laut yang mencakup budidaya payau dan laut, dalam kerangka menjamin keamanan dan kesehatan produk pangan.
Upaya ini tidak hanya akan membuat produk-produk perikanan lebih aman untuk dikonsumsi oleh manusia, namun juga akan menaikkan citra produk perikanan budidaya tujuan ekspor regional maupun global.