Jakarta – Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan produksi dan ekspor perikanan mesti dibarengi dengan perhatian dan kebijakan perlindungan HAM bagi pekerja di sektor perikanan.
Sektor perikanan saat ini masih rentan terhadap praktik kerja paksa dan perdagangan orang. Praktik tersebut terjadi pada sub sektor budidaya, penangkapan dan pengolahan ikan.
Menurut Abdi, rencana deregulasi sejumlah kebijakan sektor kelautan dan perikanan melalui review 29 peraturan dikhawatirkan akan membuat sektor perikanan menjadi ajang eksploitasi sumberdaya ikan tanpa memikirikan keberlanjutan.
“Dikhawatirkan pertimbangan ekonomi akan mendominasi kebijakan perikanan ke depan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan social,” kata Abdi, Selasa (28/1).
Walaupun stok ikan di perairan Indonesia terindikasi naik, namun pemerintah mesti menyadari bahwa saat ini stok ikan global semakin menipis.
Kegiatan penangkapan ikan saat ini ditandai dengan ongkos produksi yang makin meningkat, apalagi dengan rencana pemerintah mendorong armada kapal ikan Indonesia menangkap di ZEEI. Penangkapan ikan pada lokasi yang lebih jauh akan meningkatkan biaya BBM dan biaya tenaga kerja, pelaku usaha akan menekan 2 hal tersebut agar tetap kompetitif.
“Tanpa instrumen dan pengawasan yang kuat, pengusaha akan memotong biaya tenaga kerja dan hal itu akan menjadi insentif terjadinya perbudakan modern di sektor perikanan tangkap,” kata Abdi.
Sejauh ini, instrumen untuk melakukan pengawasn ketenagakerjaan disektor perikanan masih parsial dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Tenaga Kerja.
Sementara itu, Program Coordinator SAFE Seas Project, DFW-Indonesia, Muh Arifuddin meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 35/2015 tentang Sistim dan Sertifikasi HAM pada Usaha Perikanan.
“Sejauh ini beleid tersebut merupakan satu-satunya produk hukum pemerintah yang secara langsung mencegah praktik kerja paksa, pelanggaran HAM dan perdagangan orang di sektor perikanan” kata Arif.
Aturan tersebut masih parsial mengatur awak kapal dalam negeri, belum secara lengkap mengatur awak kapal ikan yang bekerja di luar negeri (migran).
Arif mengingatkan bahwa saat ini di pasar global, banyak ikan yang ditangkap oleh orang-orang yang bekerja lebih dari 18 jam sehari, bergaji $200-300 bulan dan bekerja dalam jeratan utang dan pemerasan.
“Bulan lalu, kami menemukan 3 orang awak kapal perikanan asal Bitung yang bekerja di kapal Tiongkok selama 7 bulan tanpa digaji dan pemerintah tidak hadir membantu mereka mendapatkan hak-hak yang mestinya mereka dapatkan,” kata Arif.*
Komentar tentang post