Oleh: Funco Tanipu
Dosen Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo
Perdebatan soal apakah perempuan bisa menjadi pemimpin daerah akan bisa disaksikan oleh semua kalangan. Sebab selama ini pertanyaan masih sebatas bisa dan tidak untuk menjadi pemimpin.
Saat ini, tiga orang resmi menjadi pemimpin daerah, Merlan Uloli (Bupati Bone Bolango), Suharsih Igirisa (Wakil Bupati Pohuwato) dan terbaru Sila Botutihe (Penjabat Bupati Gorontalo Utara).
Mereka bertiga tidak terpilih (secara personal) melalui kontestasi atau pemungutan suara, Suharsi dan Merlan terpilih karena mendampingi Hamim Pou dan Saiful Mbuinga, faktor terpilih secara individual tidak mengemuka tapi karena berpasangan. Keduanya belum teruji untuk ikut kontestasi menjadi Kepala Daerah. Berbeda dengan Sila, dia terpilih secara politis-administratif, bukan elektoral.
Ketiganya adalah patok keteladanan sekaligus cermin buat publik, apakah faktor keperempuanannya tersebut bisa selaras dengan urusan pengelolaan pemerintahan? Ataukah bagi ketiganya, jenis kelamin bukanlah sebuah pembeda dalam mengelola daerah?
Tetapi, bagaimanapun memori publik soal kepemimpinan masih dirasa cenderung maskulin. Hal itu terlihat dari berbagai lambang, logo dan juga simbol-simbol maskulin seperti makuta yang dijadikan identitas organisasi dan institusi. Termasuk cara pandang sebagian besar publik yang menganggap perempuan belum bisa diberi kesempatan untuk memimpin.