Darilaut – Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemsyarakatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, larangan mudik diharapkan dapat dikaji dari berbagai sisi. Pasalnya, banyak pekerja di DKI Jakarta kehilangan pekerjaan karena dampak Covid-19, sehingga mudik bisa saja menjadi satu-satunya pilihan.
”Meskipun penelitian dilakukan dengan perspektif demografi, tentu harapannya kita bisa mengurai hasil penelitian untuk memecahkan masalah ekonomi, keamanan, atau yang lain bila ditinjau dari perpektif kependudukan,” kata Nuke, dikutip dari Lipi.go.id.
Menurut Nuke, permasalahan yang ada bukan hanya sekadar pilihan untuk mudik atau tidak. “Sebenarnya inti dari permasalahan juga soal bagaimana memutus penyebaran Covid-19 saat perjalanan mudik,” ujar Nuke.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Rusli Cahyadi mengatakan, tradisi mudik menjelang hari raya Idul Fitri sudah menjadi fenomena budaya masyarakat Indonesia. Namun, kondisi di tengah pandemi Covid-19 di tahun ini menjadikan mudik sebagai hal yang kompleks.
”Mudik bukan semata-mata sebagai fenomena ekonomi tapi juga sosial. Dalam kondisi dan situasi yang sulit ini orang berusaha untuk pulang, karena mudik seperti sebuah panggilan,” kata Rusli.
Menurut Rusli, studi yang dilakukan terhadap 3.853 responden dengan rentang usia 15-60 tahun ke atas menunjukkan sebanyak 43,7 persen memilih tetap akan mudik meski menyadari akan memperparah potensi penyebaran Covid-19. Sementara 56,22 persen menjawab tidak akan mudik, termasuk di dalamnya 20,98 persen masih berencana untuk membatalkan mudik.
Hasil survei Persepsi Masyarakat terhadap Mobilitas dan Transportasi menunjukkan pergerakan mudik terbesar berasal dari Jawa Barat sebesar 22,94 persen, diikuti DKI Jakarta 18,14 persen, Jawa timur 10,55 persen, Jawa Tengah 10,02 persen, dan Banten 4,68 persen.
“Persentase pergerakan ini akan didominasi oleh masyarakat umum, mengingat pemerintah telah mengeluarkan regulasi melalui untuk melarang seluruh Aparatur Sipil Negara melakukan mudik lebaran,” katanya.
Sejalan dengan pergerakan mudik tersebut, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Chotib Hasan mengatakan, arus balik juga dapat berpotensi menciptakan dampak terinfeksi Covid-19 yang lebih besar lagi jika tidak ada intervensi.
Tanpa intervensi, akan ada 1.059 orang dalam pemantauan (ODP) yang balik ke Jakarta. Namun, jika ada intervensi, angka tambahan ODP menjadi sedikit sekitar 205 orang. Intervensi ini dilakukan oleh pemerintah bisa berupa pelarangan orang melakukan mudik di daerah asal mudik, dan penutupan lokasi di daerah tujuan mudik.
Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada, Sukamdi, ada kemungkinan arus mudik tahun ini tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya karena berbeturan dengan regulasi di daerah tujuan mudik.
“Persoalan yang dihadapi pemudik saat ini tidak hanya berhadapan dengan persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan sosial, seperti keterbatasan sarana dan prasarana transportasi, regulasi yang diterapkan di daerah asal sangat ketat, dan penolakan dari komunitas di daerah asal,” katanya.
Sukamdi mengatakan, dampak pandemi Covid-19 secara demografis tidak akan berhenti pada saat pandemi berakhir. Hal ini akan berdampak pada kemiskinan, pendidikan dan kesehatan yang akan terasa dalam jangka panjang.
“Harapannya, ketahanan bangsa ini akan meningkat sejalan dengan peningkatan solidaritas sosial yang selalu muncul di saat terjadi krisis,” ujarnya.*
Komentar tentang post