Darilaut – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyoroti peran strategis mineral kritis dalam mendukung transisi energi global dan pengembangan teknologi masa depan.
Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Sumber Daya Geologi BRIN, Ernowo, mengatakan, keberlanjutan pasokan mineral menjadi faktor kunci dalam mencapai net zero emission pada tahun 2050, sesuai dengan Paris Agreement.
Mineral kritis mencakup bahan-bahan seperti kobalt, litium, tembaga, grafit, dan neodimium, sangat diperlukan untuk berbagai teknologi energi terbarukan dan perangkat teknologi tinggi, termasuk turbin angin, panel surya, dan kendaraan listrik.
Namun, pasokan mineral ini berisiko terganggu akibat kelangkaan sumber daya, teknologi ekstraksi yang belum memadai, dan fluktuasi pasar.
“Transisi energi yang kita hadapi saat ini membutuhkan peningkatan signifikan dalam penggunaan mineral kritis,” kara Ernowo, dalam webinar Digdaya (Diskusi Geologi Sumber Daya) pada Selasa (20/8).
”Misalnya, permintaan mineral untuk green hydrogen diproyeksikan meningkat hingga 500 kali lipat, sementara kebutuhan untuk kendaraan listrik akan naik 60 kali lipat.”
Untuk mengatasi tantangan ini, Ernowo menjelaskan pentingnya strategi hilirisasi komoditas utama seperti nikel, timah, bauksit, dan besi.