Sementara di sektor agraria dan kehutanan, Kementerian ATR/BPN baru mengakui sekitar 0,3 juta hektare. Situasi ini menunjukkan lambatnya proses pengakuan dan tumpang tindih antar-sektor, di mana tanah ulayat sering kali juga diklaim sebagai aset negara atau kawasan konsesi.
“Putusan MK 35 menegaskan hutan adat bukan hutan negara, tetapi di lapangan masih banyak kerancuan. Kebijakan sering kali membantu di satu sisi tetapi menghambat di sisi lain, pengakuan yang tidak hati-hati bisa berubah menjadi perampasan baru,” ungkapnya.
Erasmus menyoroti pula berbagai instrumen hukum nasional dan internasional yang menjadi landasan perjuangan masyarakat adat, seperti Konvensi ILO No. 169, Konvensi CBD, dan berbagai undang-undang sektoral seperti UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU No. 6/2014 tentang Desa yang memungkinkan terbentuknya desa adat.
Namun, implementasi di lapangan masih minim karena banyak wilayah adat yang diakui secara administratif tetapi belum memperoleh status hukum yang kuat. Lebih jauh, Erasmus menjelaskan bahwa tumpang tindih wilayah adat menjadi sumber utama konflik agraria. Banyak kasus di mana wilayah adat tumpang tindih dengan konsesi perkebunan, pertambangan, maupun proyek strategis nasional. Sektor-sektor inilah yang menjadi penyulut konflik agraria di wilayah adat, karena pengakuan adat berjalan jauh lebih lambat dibandingkan dengan investasi yang masuk.




