Galuh menyoroti perilaku tidak ramah lingkungan yang dilakukan masyarakat menyumbang risiko banjir. “Sungai dilihat sebagai halaman belakang, tempat sampah komunal,” ujarnya.
Produksi sampah Jakarta hanya 0,5 sampai 0,8 kilogram per hari dibandingkan Singapura yang mencapai satu kilogram per hari. “Namun di sana jarang terjadi bencana banjir. Ini berarti bukan soal sampahnya, tapi perilaku membuang sampahnya,” kata Galuh.
Adaptasi transformatif
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Gusti Ayu Surtiari mengatakan, hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghadapi banjir yang terjadi. “Jabodetabek beresiko banjir karena topologi dan ekologinya, ditambah lagi curah hujan meningkat. Lalu jika banjir sudah datang, kita mau apa? Mau tidak mau kita harus beradaptasi,” ujarnya.
Adaptasi ini harus dilakukan di semua level masyarakat mulai dari individu, regional, hingga nasional. “Masing-masing level memiliki rasionalitas untuk mengambil keputusan atas tindakan yang akan dilakukan. Seluruh level tersebut harus sinergis dan tidak saling menghambat satu dengan yang lain. Misalnya, adaptasi di tingkat pemerintah tidak menghambat adaptasi oleh individu atau rumah tangga,” katanya.*
Komentar tentang post