Darilaut – Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto, mengatakan, gempabumi magnitudo 5,9 yang terjadi pada Selasa (3/8) sekitar 25 km arah barat Pulau Pagai Selatan tidak memiliki cukup energi untuk menggerakkan struktur perbukitan yang terletak pada palung di Samudera Hindia.
Gempa tersebut tidak memicu tsunami seperti kejadian saat gempa 2010.
Pada 25 Oktober 2010, menurut Nugroho, dekat dengan lokasi gempa Pagai tersebut, pernah terjadi gempa dengan magnitudo 7,8. Gempa tersebut memicu terjadinya tsunami setinggi lebih dari delapan meter di Pulau Pagai dan sekitarnya.
“Peristiwa tersebut menimbulkan korban sekitar 408 orang,” kata Nugroho seperti dikutip dari Lipi.go.id, Kamis (5/8).
Dalam publikasi ilmiah Hananto dkk yang terbit pada 2020, gempa yang menyebabkan tsunami pada tahun 2010 di Pagai dihasilkan oleh pergerakan vertikal secara tiba-tiba perbukitan di palung samudera akibat penjalaran energi gempa pada zona megathrust.
Punggungan tersebut berada pada palung di Samudera Hindia selah barat Kepulauan Mentawai akibat aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Benua Eurasia.
Kesimpulan tersebut berdasarkan analisis data seismik refleksi yang dihasilkan dari survei MegaTera yang dilakukan pada Mei-Juni 2015.
Ketika itu Hananto dan tim memanfaatkan Kapal Riset Falkor dari Schmidt Ocean Institute yang dikombinasikan dengan data batimetri. Survei dilaksanakan atas kerjasama antara LIPI, Institut de Physique du Globe de Paris, Earth Observatory of Singapore dan Schmidt Ocean Institute.
Data seismik refleksi dilakukan pada lintasan yang memotong secara tegak lurus palung Samudera Hindia yang mengalami pergeseran maksimum akibat gempa 2010 tersebut.
Hasil pengamatan menggambarkan adanya beberapa pasangan sesar naik aktif akibat aktivitas subduksi megathrust. Pasangan sesar aktif ini membentuk barisan perbukitan sejajar palung.
Pergerakan vertikal dari struktur tersebut pada saat terjadinya gempa tahun 2010 secara efektif membangkitkan tsunami yang melanda Pulau Pagai dan sekitarnya.
Pemodelan tsunami secara numerik berdasarkan model ini memberikan kesesuaian yang baik dengan pengamatan ketinggian tsunami di Pulau Pagai.
Hananto mengatakan, riset secara sistematik untuk mengidentifikasi struktur palung sepanjang zona subduksi Sunda (Barat Sumatra, Selatan Jawa, Selatan Bali, Nusa Tenggara dan Lombok) sangat penting.
“Riset ini dilakukan untuk mengetahui potensi tsunami yang dapat dipicu oleh gempa dengan kekuatan tidak terlalu besar. Riset yang sistematis, komprehensif, dan inter-multi disiplin sangat berguna untuk menyusun mitigasi bencara gempa bumi dan tsunami pada daerah pesisir di sepanjang zona subduksi Sunda,” katanya.
Sebelumnya, pada Selasa (3/8) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan gempa dengan magnitudo 5,9 terjadi di sekitar 25 km arah barat Pulau Pagai Selatan, pukul 05.48 WIB.
Pusat gempa pada kedalaman 21 km tersebut tidak menimbulkan tsunami. Namun, guncangan gempa dirasakan cukup kuat, dengan skala intensitas IV-V MMI di Pulau Pagai Selatan.
Gempa juga dirasakan sampai ke Padang, Pariaman dan Kota Bengkulu dengan skala intensitas II-III MMI.
BMKG mengasumsikan pemicu gempa Pagai berasal dari zona megathrust segmen Mentawai-Pagai, dengan mekanisme naik akibat aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia terhadap Lempeng Eurasia.
Komentar tentang post