Jakarta – Sejak dibentuk, Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) telah menenggelamkan 516 kapal. Namun yang bisa ditahan hanya nakhoda dan master engineering-nya, beneficial owner belum dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Keberhasilan yang begitu hebat namun menyimpan ironi yang sangat dalam,” kata Susi, saat menutup rangkaian kegiatan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Satgas 115 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, Kamis (19/9) pekan lalu.
Menteri Susi mengharapkan setiap instansi di bawah naungan Satgas 115 untuk mampu bereksplorasi, memperluas, dan menggali ketentuan hukum yang dapat dijeratkan terhadap pelaku Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing agar bisa dihukum seberat-beratnya.
“Jangan kita hanya melakukan penuntutan dan penyidikan normatif. Para pelaku ini tidak melihat hal-hal normatif. Mereka akan stretch apa yang mungkin. Setiap lubang, loop hole hukum kita akan mereka pakai. Tapi kita yang memiliki kedaulatan, yang memiliki sumber daya ini, justru malah membatasi diri kita dengan ketentuan-ketentuan yang kita buat, yang sebetulnya untuk menaklukan para penjahat ini,” ujarnya.
Susi meminta aparat menjunjung tinggi integritas dan kejujuran, dua hal penting untuk mengawal negara menuju pembangunan yang berkelanjutan dan menjadikan bangsa besar dan hebat. Aparat penegak hukum di lapangan harus patuh, disiplin dan compliance terhadap aturan dan amanah undang-undang negara.
“Tanpa itu, seberapapun besarnya kesatuan penegakan hukum kita, maka kita tidak akan pernah disegani, dihormati, apalagi dipatuhi, apabila dalam melakukan penegakan hukum tidak disertai dengan komitmen, integritas dan kejujuran,” katanya.
Menurut Susi, tambang dan minyak, semua sudah terkonsesi. Yang masih bisa diakses oleh rakyat pada umumnya adalah sumber daya alam di laut, di sungai dan danau.
“Mereka, nelayan-nelayan kecil, harus bisa terus mengakses sumber daya ini,” katanya.
Hal ini sesuai dengan amanah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, di mana seluruh sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Tugas Aparat penegak hukum memastikan akses tersebut terus ada bagi masyarakat. Sumber daya tersebut juga harus dijaga terus produktif dengan mengentaskan segala kegiatan perikanan ilegal dan pengrusakan menuju tata cara perikanan berkelanjutan.
Salah satunya dengan menghindari penggunaan portas, trawl atau pun cantrang dalam kegiatan penangkapan ikan. “Bukan kita Ingin menutup akses bagi nelayan trawl dan lain lain, bukan. Yang kita stop adalah alat tangkapnya, bukan pemiliknya untuk mengakses sumber daya laut. Gantilah alat tangkapnya,” ujar Susi.
Sama halnya dengan pemilik kapal ilegal yang tidak pernah tersentuh, supplier portas dan bom untuk penangkapan ikan juga tidak bisa diungkap. Selama supplier dan pengusaha ikan hidup yang banyak menggunakan destructive fishing ini tidak disentuh, selama itu pula akan terjadi perusakan diam-diam seluruh coral reefs (terumbu karang) Indonesia.
Jika pemerintah mampu meyakinkan masyarakat terhadap pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, sektor perikanan Indonesia akan tumbuh subur. Namun masing-masing daerah tentunya harus dengan gigih melakukan konservasi pembatasan dengan aturan-aturan desa/daerahnya sendiri.
Susi mencontohkan, ada desa kecil di Demak yang dengan gigih menjaga dan membatasi desanya dari alat tangkap yang merusak ini. Kita harus tahu nilai rajungan yang bisa mereka ekspor mencapai triliunan rupiah per tahun, keuntungan bagi masyarakat.
“Tapi berapa desa yang punya keberanian seperti itu? Harusnya kita menjadi trigger, menjadi pelindung, supaya lebih banyak desa yang bisa berdaya seperti itu,” katanya.
Tumbuhnya perikanan Indonesia ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengisi peluang ekspor pasar mancanegara. Berdasarkan berita yang beredar, 14.000 metrik ton tuna loin dari Cina menghilang dari pasar Amerika karena Amerika menetapkan import tariff yang sangat besar bagi Cina.
Supply itu mestinya digantikan oleh ikan- milik perusahaan Indonesia. Namun ini juga PR untuk Karantina, jangan sampai kejadian 2001-2004 terulang kembali. Pada saat udang dari 7 negara itu dikenakan import tarif sampai 100 persen atau 70 persen oleh Amerika, Indonesia cuma 12 persen. Yang dilakukan oleh bangsa Indonesia adalah memberikan dokumen untuk mengatasnamakan barang Cina itu, barang Thailand itu, barang Vietnam itu, product of Indonesia.
“Ada kesempatan malah bukan dipakai untuk meningkatkan produksi pertambakan udang kita, namun mengambil jalan pintas jualan dokumen saja. Akhirnya Amerika tahu pun marah. Mereka mengancam akan embargo udang Indonesia,” ujar Susi.
Karantina dan tentunya Polair bisa membantu dalam rangka memastikan pengamanan. Jangan sampai ada impor tuna loin dari Cina untuk di re-ekspor dari Indonesia.*
Komentar tentang post