‘Takdir Sejarah’ Indonesia Sebagai Bangsa Maritim

Kapal layar Arka Kinari berlabuh di Banda Naira. FOTO: ISTIMEWA

Darilaut – Guru Besar Sejarah Universitas Doponegoro (Undip) Prof Singgih Tri Sulistiyono, mengatakan, fakta geografis dan pengalaman historis, bangsa Indonesia telah menjalani ‘takdir sejarah’ sebagai bangsa maritim. Dominasi kolonialisme telah meredupkan ‘takdir sejarah’ itu.

Oleh sebab itu, kata Prof Singgih, tugas generasi sekarang adalah menyelesaikan ‘takdir sejarah’ sebagai bangsa maritim yang besar di masa mendatang yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

“Paradigma maritim adalah konsep pembangunan yang didasarkan pada jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang bersumber dari perjalanan sejarah sebagai komunitas bangsa yang menduduki wilayah kepulauan Nusantara,” kata Prof Singgih seperti dikutip dari Undip.ac.id.

Definisi Negara Maritim untuk Indonesia, menurut Prof Singgih, adalah negara yang mampu membangun kekuatan maritimnya (seapowers) baik di bidang pelayaran dan perdagangan (merchant shipping), kekuatan pertahanan dan keamanan maritim (maritime fighting instruments).

Selain itu, kemajuan teknologi kemaritiman (maritime technology) untuk dapat memanfaatkan potensi yang dimilikinya secara sinergis (laut dan darat) dalam kerangka dinamika geopolitik guna mencapai kemakmuran dan kejayaan bangsa dan negaranya.

Prof Singgih mengatakan paradigma maritim merupakan pola pikir (pattern of thought) atau cara pandang terhadap diri dan lingkungannya sebagai bangsa dan negara maritim yang akan mempengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif/psikomotor).

Menurut Prof Singgih untuk membangun negara maritim yang besar perlu sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai budaya sejarah dan budaya maritim melalui media pendidikan, seni, sastra, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa selama masa penjajahan jiwa dan semangat bahari telah mengalami penurunan.

Prof Singgih menyampaikan materi tersebut dalam Webinar Nasional Pekan Kesejahteraan Undip Tahun 2021 yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip, Sabtu (21/8).

Kegiatan ini dengan tema “Upaya Menghidupkan Kembali Kemaritiman Sebagai Bentuk Identitas Bangsa Indonesia”. Selain Prof Singgih, pembicara lainnya adalah peneliti sejarah Museum Bank Indonesia Syefri Luwis.

Syefri membawakan materi dengan judul: Rempah dan Mata Uang Era Kerajaan: Sebuah Keterikatan. Pada masa lalu, rempah-rempah menjadi simbol eksotisme, kekayaan, prestise, dan sarat dengan kesakralan yang pernah dihargai setara dengan emas.

Rempah-rempah pada masa itu, kata Syefri, menjadi simbol eksotisme, kekayaan, prestise, sekaligus digunakan sebagai penyedap rasa, pengawet, dan obat berbagai penyakit. Sehingga zaman perdagangan itu mengakibatkan permintaan mata uang mengalir ke wilayah nusantara.

Exit mobile version