Darilaut – Tanda-tanda cuaca ekstrem dapat diketahui melalui pertumbuhan awan, seperti nimbostratus, altocumulus, dan cumulonimbus.
Awan cumulonimbus, memiliki bentuk lebat dan padat, dan memiliki serat halus di bagian atasnya. Pada bagian bawahnya seperti tampak koyak dan berwarna gelap. Terkadang terlihat seperti pohon beringin atau jamur raksasa.
Bagian atas awan ini terdiri dari awan es yang menyebar secara horizontal dalam bentuk landasan atau anvil.
“Awan ini berpotensi menghadirkan hujan ekstrem karena di dalamnya terkandung es, angin kencang, hujan lebat, dan petir,” kata Peneliti Ahli Utama Bidang Klimatologi, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA) BRIN Erma Yulihastin.
Pada malam hari masih bisa diketahui akan hujan atau tidak dengan melihat bulan. Jika masih bisa melihat cahaya bulan secara penuh, berarti awan yang ada hanya awan-awan tinggi.
“Sedangkan jika bulan tertutup oleh banyak awan sehingga tidak bisa terlihat, itu menandakan bahwa terdapat banyak awan-awan rendah yang berpotensi menimbulkan hujan,” kata Erma, saat kuliah umum Keluarga Mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada, bertajuk “Mengungkap Misteri Cuaca Ekstrem: Peran Satelit dalam Prediksi dan Pemantauan”, secara daring, Minggu (12/11).
Cuaca ekstrem adalah terjadinya suatu nilai unsur cuaca seperti suhu, angin, hujan, dan sebagainya, yang sangat tinggi atau sangat rendah, melebihi ambang batas tertentu.
Erma menjelaskan untuk mengenali tanda cuaca ekstrem dari awan dapat dimonitor melalui satelit.
Awan nimbostratus umumnya biasa dikenali sebagai awan hujan atau awan mendung. Awan ini berwarna abu-abu yang merata dan terlihat beberapa waktu sebelum hujan turun, kata Erma.
Sedangkan awan altocumulus, kata Erma, berbentuk bulatan kecil-kecil layaknya kapas dan menyebar luas di langit dengan jumlah gumpalan yang banyak.
“Jika terlihat di pagi hari, maka biasanya pada sore hari kemungkinan akan ada hujan badai,” kata Erma.
Skala cuaca ekstrem juga dapat dikenali melalui sifat, yaitu tidak biasa atau tidak normal, dampak yaitu besar, luas atau parah.
Frekuensi seperti sangat jarang terjadi, skala yang meliputi ruang meso hingga sinoptik atau waktu yang meliputi jam hingga mingguan, dan bentuk seperti bow echo, squall line, dan mesoscale convective complex.
Beberapa kasus cuaca ekstrem, kata Erma, menunjukkan bahwa kombinasi atmosfer-laut merupakan satu kondisi yang bisa merusak dalam waktu yang singkat terhadap infrastruktur yang ada di sekitar pantai.
“Kombinasi dari atmosfer dan laut yang saling berinteraksi ini salah satunya disebut storm surge,” katanya.
Banjir rob yang ditimbulkan dari storm surge bisa menghantamkan air dari laut menuju ke permukaan seperti tsunami. “Kejadian seperti ini harus selalu diwaspadai,” ujarnya.
Adaptasi dan Mitigasi
Untuk itu, kata Erma, perlu upaya yang harus dilakukan supaya tidak terjadi panas berlebihan dan bisa mengurangi cuaca ekstrem.
Memperbaiki lingkungan harus dilakukan karena perubahan iklim tidak bisa dihentikan, namun bisa ditahan laju kenaikannya agar tidak terlalu tinggi. Peredaman bisa dilakukan dengan cara melakukan adaptasi dan mitigasi, kata Erma.
Adaptasi sebagai kondisi untuk mindset kita bahwa saat ini kondisi sudah tidak baik-baik saja. Mitigasi berarti menjaga supaya tidak ada lagi alih fungsi lahan yang merusak.
Upaya mitigasi, antara lain, dengan menanam pohon di sekitar rumah, kemudian tidak membakar sampah dan sering menggunakan sepeda bisa kita lakukan sehari-hari. Ini sebagai bagian kecil langkah untuk menghadapi atau mengurangi dampak dari kondisi cuaca ekstrem.