Bambang menjelaskan, budidaya dengan teknologi ini berpotensi secara kontinu bisa menghasilkan enam sampai sembilan kilogram per kubik. Bahkan jika dilakukan panen secara parsial, potensinya bisa 100-130 ton per hektar.
Panen parsial dilakukan dalam beberapa kali tahapan. Yaitu dalam 65 hari, 75 hari, 85 hari, 105 hari dan 120 hari. Di mana setiap kali panen berkisar antara 15-20 persen dari populasi.
“Jika diakumulasikan, per kubik bisa mencapai 10 sampai 13 kilogram. Artinya kalau dihektarkan bisa 100 sampai 130 ton per hektar. Sementara jika budidaya konvensional, paling tinggi hanya mencapai 40-68 ton per hektar,” kata Bambang seperti dikutip dari Ipb.ac.id, Kamis (20/1).
Wakil Ketua Tim Peneliti Dr Wiyoto, mengharapkan sistem budidaya RAS dan bioflok ini dapat menjadi alternatif teknologi bagi tambak-tambak yang tidak lagi produktif. Sebab dengan luasan yang sedikit saja, mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Menurut Wiyoto dengan konsep ini, kita bisa menghidupkan tambak-tambak yang tidak aktif, yang tidak produktif. Sebab teknologi ini sudah diujicoba dan berjalan dengan baik, sehingga bisa dikembangkan secara luas dan dengan skala yang lebih besar lagi.
Secara lengkap, tim peneliti terdiri dari Prof Bambang Widigdo, Dr Wiyoto, Dr Zulaikasari, Dr Sigit dan melibatkan 29 mahasiswa, baik dari Sekolah Vokasi maupun program Sarjana. Inovasi yang sangat aplikatif untuk diterapkan di masyarakat ini mendapatkan dana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam bingkai program Kedai Reka.
Komentar tentang post