Jakarta – Penggunaan alat tangkap perikanan jenis trawl merusak ekosistim laut dan berpotensi memicu konflik horizontal.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, berdasarkan data yang ada, penggunaan trawl, seperti di Lamongan masih cukup banyak.
“Saat ini terdapat sekitar 500 kapal ikan ukuran dibawah 5 GT (Gros Ton) yang beroperasi menggunakan trawl di perairan Lamongan,” kata Abdi, Jumat (11/10).
Penggunaan alat tangkap trawl juga masih ditemukan pada perairan lain di Indonesia seperti Bengkulu, Sumatera Utara dan Mempawah, Kalimantan Tengah.
Menurut Abdi, penggunaan alat tangkap trawl sering menggangu kegiatan penangkapan kepiting rajungan yang juga banyak dilakukan oleh nelayan setempat. “Potensi konflik antara nelayan trawl dan rajungan sangat besar, sebab alat tangkap mereka sering terkena pukat trawl,” kata Abdi.
Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Timur dibantu pihak terkait mesti melakukan upaya untuk menghentikan penggunaan trawl karena menimbukan kerugian secara ekologi, sosial dan ekonomi.
Peneliti DFW-Indonesia, Laode Gunawan Giu mengatakan, selain penggunaan trawl, pemerintah juga belum bersikap tegas terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang di Jawa Timur. “Sekitar kurang lebih 900 kapal ikan ukuran dibawah 30 GT di Lamongan yang beroperasi secara illegal,” kata Gunawan.
Komentar tentang post