INDONESIA memiliki beragam cara pengolahan garam tradisional. Ada yang dibuat dari tanaman, lumpur vulkanik dan mata air asin.
Produksi garam ini sudah berlangsung lama, dibuat turun-temurun. Tradisi pengolahan garam rakyat ini sangat istimewa, diolah dan dipasarkan terbatas.
Pemasaran garam rakyat atau garam tradisi Ini yang masih menjadi tantangan. Garam yang tidak diproses fortifikasi yodium ini tidak dapat diedarkan secara luas karena kebijakan pemerintah hanya mengakui garam beryodium sebagai garam konsumsi.
Garam tradisi yang bersumber dari air laut juga mengalami hal yang sama. Seperti garam laut Bali yang juga dikenal dengan istilah garam artisan.
Produk garam laut Bali, seperti Amed, Kusamba, Tejakula dan Pemuteran.
Garam tradisi ini ada yang sudah memperoleh sertifikat Indikasi Geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena memiliki nilai dagang. Contohnya, garam artisan dari Amed, Bali Utara. Produksi garam ini telah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG).
Asisten Deputi Bidang Sumberdaya Mineral dan Energi NonKonvensional Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Amalyos Chan mengatakan, semua garam rakyat diolah secara tradisional, dengan kearifan lokal. “Bisa dikatakan ini adalah bagian dari budaya kita. Tradisi yang berlangsung turun-temurun,” ujarnya.
Untuk garam rakyat seperti ini, perlu ada pengecualian. Selain sebagai sumber pendapatan, produksi garam ini untuk menjaga kearifan lokal.
Menurut Amalyos, garam ini harganya bagus dan lebih mahal dari garam dapur biasa. Bahkan, sudah ada permintaan dari segmen tertentu.
Misalnya untuk kebutuhan sajian gourmet, yang selama ini banyak masuk melalui impor, untuk kebutuhan khusus penderita penyakit auto imun dan autism yang membutuhkan garam organik.
Produksi ini bisa menjaga tradisi pembuatan garam yang ternyata berkualitas baik. “Celah pasar ini, sebaiknya diisi oleh garam produksi dalam negeri, menjaga kearifan lokal, daripada diisi oleh produk impor,” kata Amalyos, saat Rapat Koordinasi (Rakor) Fasilitasi Perizinan Ekspor Produk Garam Artisan di Kuta, Bali.
Rakor yang difasilitasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman ini berlangsung pada Kamis (6/12) dan Jumat (7/12) pekan lalu, dengan menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dan Kementerian Kesehatan. Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, Pemerintah Daerah, serta pengusaha, investor dan asosiasi garam.
Beragam tradisi pengolahan garam di Indonesia ini dibahas dalam Rakor tersebut. Untuk garam gunung dengan memanfaatkan mata air asin, diproduksi di Gunung Krayan, Kalimantan Utara.
Garam Bledug Kuwu sering disebut garam bleng diolah dari lumpur vulkanik di Grobogan, Jawa Tengah. Garam bleng ini selain dimanfaatkan masyarakat sebagai garam konsumsi tradisional, juga menjadi souvenir wisatawan yang berkunjung ke Bledug Kuwu.
Kemudian, di Papua. Rakyat setempat, ada yang memanfaatkan tanaman untuk memperoleh garam.
Indonesia memiliki tradisi pengolahan garam rakyat yang sangat istimewa. Keunikan beragam tradisi pengolahan garam ini mulai dari laut hingga gunung.*
Komentar tentang post