Nama Pinisi Muncul 1930-an

Aziz Salam

Dr Aziz Salam, M.Agr. FOTO: DARILAUT.ID

SEBAGAI alat transportasi laut yang digunakan untuk perdagangan di Sulawesi Selatan, pinisi, mengalami masa kejayaan selama 40 tahun. Nama perahu pinisi baru muncul pada 1930-an.

“Pinisi berjaya 1930 sampai 1970,” kata ahli perkapalan Dr Aziz Salam M.Agr, Kamis (20/12).

Transformasi perahu pinisi dimulai dari pangajava atau paqtaripang. Perahu dengan tipe satu layar ini digunakan sesuai komoditas yang diburu di laut.

Evolusi perahu layar pangajava/paqtaripang berkembang menjadi paqdewakang. “Paqdewakang adalah perahu layar asli Indonesia dari Bugis-Makassar,” kata Aziz.

Paqdewakang yang digunakan nelayan Bugis-Makassar hingga ke Australia untuk berburu teripang dan komoditas laut lainnya.

Aziz mendalami transformasi perahu dan kapal di Sulawesi Selatan ketika masih kuliah S1 di Fakultas Teknik, Jurusan Perkapalan, Universitas Hasanuddin. Penelitian ini dilanjutkan melalui pendidikan S2 dan S3 di Universitas Ehime, Jepang.

Pada 1900, perahu Paqdewakang dengan dua layar mengalami perubahan menjadi palari. Palari memiliki tujuh layar.

Evolusi perahu di Sulawesi Selatan. Sumber: Aziz Salam dan Osozawa Katsuya (2008).

Perkembangan kapal dagang di Sulawesi Selatan mengalami evolusi tahap demi tahap. “Palari memiliki layar yang sama dengan pinisi, tetapi body berbeda,” kata Aziz yang lahir di Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep) Sulawesi Selatan, pada 1972.

Bentuk tujuh layar yang ada pada pinisi, menurut Aziz, memiliki kemiripan dengan perahu layar yang ada di Amerika dan Perancis.

Untuk perahu pinisi di Bulukumba, menurut Aziz, semua lembar papan yang digunakan sudah memiliki nama. Pola yang ada menjadi kekhasan dalam pembuatan perahu ini.

Nama-nama setiap lembar papan dan ukuran, dengan pola yang telah dibakukan sejak dulu. Tukang akan mengikuti panduan dari panrita lopi. Adapun ukuran perahu menggunakan jengkal tangan pemesan.

Pada 2002, Aziz yang saat itu sedang menyelesaikan tesis S2 membuat pinisi, yang dinamakan Cinta Laut. Pembuatan pinisi ini bersama pembimbingnya Prof Osozawa Katsuya.

Aziz mengambil fokus pembuatan perahu berbahan kayu, khususnya pinisi untuk studi S2. Tesis ini dengan judul “Woden Boat Building and Timber Supply in South Sulawesi, Indonesia.”

Pinisi Cinta Laut juga digunakan untuk kegiatan Ekspedisi The Sea Great Journey. Antara lain melakukan riset di Kepulauan Togean, Teluk Tomini.

“Saya dan beberapa dosen ikut dengan tim di kapal pinisi ini di Togean,” kata Wakil Dekan II Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univeritas Negeri Gorontalo (UNG) Femy M Sahami.

Setelah menyelesaikan pendidikan S2 di Universitas Ehime, Aziz kembali memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S3 di perguruan tinggi yang sama. Disertasinya dengan judul “The Evolution of Boats in the Spermonde Archipelago: Transformation of boats from the perspective of trade, fishery, and boatbuilding.” Program doktor ini diselesaikan pada 2007.

“Semua jenis perahu di Sulawesi Selatan mengalami evolusi atau perubahan bentuk,” ujar Aziz, yang saat ini sebagai Ketua Program Studi Ilmu Kelautan dan Perikanan S2 Pascasarjana di UNG.

Kapal pinisi Harapan Jaya, saat berlabuh pada 1975 di Maumere. Pinisi ini dibuat di Tana Beru, Bira tahun 1972. FOTO: NURDIN VIA AZIZ SALAM

Kepulauan Spermonde merupakan salah satu pengguna berbagai perahu di Sulawesi Selatan. Tukang perahu di Tana Beru ada yang diminta ke pulau untuk bekerja langsung di sana.

Ini karena sumber kayu, seperti dari Kalimantan lebih dekat di pulau tersebut. Sebelum pinisi menggunakan mesin, seperti di Pulau Salemo terdapat paling sedikit 100 pinisi.

Pulau Salemo termasuk salah satu sasaran serangan udara sekutu. Setelah kejadian ini banyak yang pindah dengan berlayar ke Surabaya dan Jakarta menggunakan pinisi.

Selanjutnya, perahu layar jenis lambo mulai berkembang. Perahu layar lambo mengalami evolusi hingga menjadi tipe kapal layar motor lambo.

Kajian ini ditulis Aziz dan Prof Osozawa, pada 2008, dengan judul “Technological Adaptation in the Transformation of Traditional Boats in the Spermonde Archipelago, South Sulawesi.”*

Exit mobile version