Oleh Kamaruddin Azis
KAMI akhirnya bisa menjajal pinisi, properti Indonesia yang diakui dunia melalui UNESCO, Selasa sore (19/06). Awalnya bernuansa drama ketika bersama kedua anak saya, Marina dan Donnie baru saja tiba di Jalan Kakatua II dari Tamarunang, Gowa.
“Cepat bro, kita akan berangkat, sebentar lagi surut,” begitu pesan Bro Vicar (Zulficar Mochtar) dari Whatsapp Call.
Kami yang sedianya parkir motor di Kakatua dan berencana naik roda empat online langsung putar haluan dan menuju Losari via Jl. Cendrawasih.
Apes juga sebab kami parkir di ujung selatan padahal pinisi ada di utara. Sontak kami berlarian. Untung tak harus berurusan dengan tukang parkir yang kerap ‘pakaseno’ di Losari. Sekarang parkir tanpa bayar.
***
Di pinisi telah ada 20-an orang termasuk kru. Setelah seorang kawan menyusul naik, kami pun bersukacita di atasnya.
Ini kedatangan kesekian kalinya naik ke moda transportasi andalan Sulawesi Selatan ini. Saya bahkan datang pertama kali ketika lunasnya masih membentang dan masih bisa dijamah. Sekira 4 tahun lalu.
Bagi saya dan anak-anak, trip ini bisa disebut liburan dan hiburan di paska suasana Lebaran meski beberapa kawan menyebutnya, ‘sea trial’ pinisi sebelum digadang ke lautan yang lebih luas.
Dari buritan, dek dan ruang kemudi terlihat suasana Losari di sore hari. Bangunan yang menjulang hingga tepi pantai yang mulai dijejali anak manusia. Pinisi terus melaju.
Anak saya, Marina dan Donnie seakan tak mau berhenti minta difoto. Melihat mereka, saya kira, inilah gambaran gairah anak muda Indonesia yang sejatinya kagum dan bangga akan keindahan Nusantara, pada pepulau, debar laut dan pesona yang dikandungnya.
Kami menyusuri sisi utara Lae-Lae, memandangi Kayangan (turut berduka untuk korban tenggelam Barrang Lompo), kemudian melintas di antara kapal-kapal cargo raksasa yang ngetem di barat Lae-Lae.
Cuaca amat bersahabat setelah semesta selatan Sulawesi diguyur hujan sedari malam.
“Keren sekali ini,” kata kawan Verrianto Madjowa dari Gorontalo yang ikut. Ikut pula kawan saya nan humble Sapril Akhmady, ini pertemuan kami setelah hanya bisa berbalas sapa di dunia maya.
Sapril juga yang selama ini ikut ‘mengurus’ pinisi yang kami tumpangi ini, di bawah naung Yayasan Makassar Skalia.
“Gimana, mantapji?,” tanya Zulficar Mochtar sebelum kami ngetem sejenak di selatan Samalona sembari merekam keindahan matahari yang pamit ke peraduan dengan melepas burung ‘drone’, pesawat tanpa awak.
***
Di atas pinisi, ide-ide berloncatan. Kami mengobrol dan coba menggoresnya di kaki cakrawala yang membara, memandangi Kota Daeng, Kota Anging Mammiri yang terang benderang di timur. Kota yang jejaknya adalah kanvas torehan kisah perjuangan para pelaut, pengelana dan pembawa perubahan di teluk-teluk, muara, selat hingga nusa-nusa harapan terjauh.
Di pinisi itu, saya membaca masa depan. Kami juga mencoba hadirkannya di kekinian dengan menggelar peta-peta harapan, dari Selat Makassar untuk Nusantara.
Tamarunang, 20/06
Komentar tentang post