Darilaut – Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan adanya lonjakan konsentrasi gas rumah kaca mulai 1996-2023, kenaikannya hampir mencapai 40 ppm.
“Itulah kondisi kita saat ini, seluruh umat di dunia mestinya mengetahui perubahan iklim global, dan harus memiliki tanggung jawab untuk mengendalikan laju gas rumah kaca,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati saat memberikan kuliah umum dihadapan 1.600 mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM).
Di seluruh dunia ada 33 stasiun pengawas atmosfer global, satu di antaranya ada di BMKG yaitu di tengah hutan di Bukit Kototabang, Sumatera Barat.
BMKG memonitor gas rumah kaca di lokasi yang belum tercemar tersebut.
Perubahan iklim global mengakibatkan terjadinya bencana alam, baik bencana alam basah maupun bencana alam kering yang terjadi hampir merata di seluruh negara.
Kejadian bencana alam basah dan bencana alam kering bisa terjadi bersamaan. Dampak perubahan iklim ini tidak pilih-pilih, baik negara maju, negara berkembang, ataupun negara adidaya.
Tren kejadiannya semakin meningkat dan frekuensi kejadiannya semakin sering. Studi menunjukkan inilah ciri-ciri dampak dari perubahan iklim.
Selain perubahan iklim, Dwikorita menjelaskan pentingnya kesiapsiagaan bencana. Salah satunya dengan rutin melakukan gladi posko.
Gladi posko bertujuan untuk meningkatkan kapasitas agar cekatan dan mampu menolong diri sendiri serta orang yang ada di sekitar ketika bencana terjadi.
Seperti di Jepang yang sudah menjadikan kesiapsiagaan sebagai budaya. Penting juga membuat peta-peta rute evakuasi, agar semua orang memiliki peluang untuk selamat dalam keadaan darurat.
Dwikorita mengatakan bahwa seluruh dunia bukan hanya di Indonesia, yang menakutkan bagi penduduk dunia saat ini bukanlah pandemi dan peperangan. Menurut Presiden Joko Widodo dan juga dari hasil pertemuan dunia, yang menakutkan bagi penduduk bumi saat ini adalah perubahan iklim dan dampaknya.
“Seluruh dunia tidak bisa mengelak dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim,” ujarnya.
Berdasarkan komposit data seluruh dunia yang dikumpulkan oleh Organisasi Meteorologi Dunia, dibandingkan dengan data sebelum Revolusi Industri (1850-1900) dengan data sampai dengan tahun 1980.
Kenaikan temperatur udara permukaan dari tahun 1900 hingga 1950 masih sangat landai. Namun mulai tahun 1980 kenaikan suhu mengalami lonjakan.
Sampai tahun 2022, kenaikan suhu global mencapai 1,2 derajat Celcius, tren kenaikan suhu terus meningkat. Sejak tahun 2015-2022, merupakan tahun terpanas kelima sepanjang sejarah sejak pasca Revolusi Industri.
Di tahun 2100 atau di akhir abad 21, BMKG memprediksi dengan menganalisis secara matematis, suhu udara permukaan dapat meloncat.
Saat ini kenaikannya menjadi 3,5 derajat Celsius dibandingkan masa sebelum Revolusi Industri. Ini terjadi di seluruh pulau-pulau besar di Indonesia.
Kita perlu melakukan mitigasi, yaitu upaya menekan laju kenaikan temperatur. Cara menekan laju temperatur bermacam-macam, dan di sinilah peran fakultas teknik sangat ditunggu untuk berhasil menekan laju kenaikan temperatur, kata Dwikorita.
Komentar tentang post