SUNGGUH menggelikan membaca berbagai komentar di media sosial terkait dengan benih lobster. Klaim kebenaran boleh atau tidak ekspor benih lobster ini terus berlanjut hingga pekan ini.
Adalah sangat tidak tepat bila disebut klaim kebenaran melalui media sosial dan media massa terkait benih lobster ini sebagai bentuk edukasi ke masyarakat.
Dalam kasus ini, yang diperlukan adalah memperkuat kajian ilmiah, yang punya otoritas keilmuan, melalui LIPI sebagai otoritas Cites dan peneliti lobster. Ini yang diharapkan dapat meluangkan waktunya berbagai ilmu dalam konteks perikanan berkelanjutan.
Selain itu, belajar dari kearifan lokal. Nelayan dan mereka yang tinggal di pesisir sudah lama menabung lobster, seperti praktik sasi di Maluku dan tempat lainnya di Indonesia.
Untuk menjaga keberlanjutan lobster dan komoditi laut lainnya, nelayan di sejumlah tempat di Maluku sudah memberlakukan larangan tersebut. Salah satunya, di Kepulauan Aru.
Larangan dengan pembatasan pemanfaatan ini dikenal dengan sasi. Sasi lobster misalnya telah diterapkan di Desa Jabulenga dan Lutur.
Untuk perikanan berkelanjutan, masyarakat menerapkan sasi lobster dan komoditi laut lainnya untuk mencegah pengambilan hasil laut dalam masa tertentu.
Untuk kondisi sekarang berapa persen dari penduduk Indonesia yang bergantung kehidupannya hidup dari lobster atau benih lobster, berapa persentase nelayan/nelayan tangkap untuk benih lobster? Seolah-olah dunia perikanan Indonesia akan runtuh hanya soal lobster ini.*
Komentar tentang post