Penelitian Terbaru, Ikan Tuna di Samudera Hindia Lebih Tercemar Merkuri

Yellowfin tuna FOTO: DARILAUT.ID

KOMODITI tuna dan tuna-like memiliki nilai ekonomis bagi Indonesia. Namun, logam berat dapat terakumulasi di biota ini karena posisinya sebagai top predator.

Penelitian yang ditulis Tri Handayani, Mohamad Syamsul Maarif, Etty Riani dan Nazori Djazuli menganalisis 895 data sekunder hasil pengujian merkuri yellowfin tuna (Thunnus albacares), bigeye tuna (Thunnus obesus) dan swordfish (Xiphias gladius), yang merupakan data official control oleh Badan Karantina, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

Penelitian ini dengan judul “Kandungan Logam Berat Merkuri pada Ikan Tuna.” Hasil penelitian terbaru ini dipublikasi di Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol 14 No 1 Tahun 2019: 35-44.

Ekspor tuna dan tuna-like Indonesia tahun 2014 sebesar 203.444 ton dengan nilai mencapai 677.900 USD (KKP, 2017).

Di lain pihak, ikan dapat terkontaminasi oleh metil merkuri, yaitu bentuk merkuri yang sangat beracun dan mempunyai dampak buruk pada kesehatan, salah satunya perkembangan syaraf anak-anak (Llop et al., 2017).

Merkuri (Hg) adalah logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, yang dapat merusak atau menurunkan fungsi sistem syaraf pusat, merusak komposisi darah, paru-paru, ginjal dan organ vital lainnya, apabila terkonsumsi melebihi ambang batas (Darmono, 1995), merusak organ tubuh (Riani, 2015) dan dapat mengakibatkan cacat bawaan pada embrio yang dilahirkan (Riani, Sudarso & Cordova, 2014).

Keberadaan merkuri di perairan dapat terjadi secara alamiah, melalui proses pelapukan dari bebatuan dan debu yang mengandung logam dari aktivitas gunung berapi, pelapukan tebing dan tanah serta aerosol dan partikulat dari permukaan lautan (Connell & Miller, 1995).

Penggunaan merkuri pada industri, mencapai ±3.000 jenis, antara lain pada industri pengolahan bahan-bahan kimia, insektisida untuk pertanian, obat-obatan, dan pertambangan (Alfian, 2006). Diperkirakan sekitar 350.000 ton merkuri tersimpan di lautan di seluruh dunia (Sunderland & Mason, 2007), dua pertiga dari jumlah tersebut berasal dari aktivitas manusia dari berbagai jenis industri (Lamborg et al., 2014).

Di perairan, proses dekomposisi oleh bakteri dapat mengubah merkuri menjadi senyawa organik metil merkuri. Selanjutnya diserap oleh jasad renik dan masuk dalam rantai makanan, yang kemudian akan terjadi akumulasi dalam tubuh hewan air seperti ikan dan kerang.

Sistem peringatan dini terhadap kasus pangan dan pakan Uni Eropa, yaitu Rapid Alert System for Food and Feed (EU-RASFF) melaporkan adanya penolakan produk tuna dan tuna-like karena kandungan merkuri yang melebihi standar 1,0 ppm.

Pada 2014- 2017 berturut-turut terjadi 99, 85, 98 dan 133 kasus penolakan, antara lain dari di Italia, Belanda, Spanyol, Portugal, Jerman dan beberapa negara lainnya (EC, 2017). Total kasus penolakan produk tuna dan tuna-like dari Indonesia pada tahun 2014-2017 sebanyak 13 kasus, berasal dari unit pengolahan ikan yang mengambil bahan baku dari tangkapan di Samudera Hindia.

Sumber tangkapan tuna Indonesia, berasal dari selatan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang umumnya diproses di unit pengolahan ikan di DKI Jakarta, Bali dan Sulawesi Utara.

Volume ekspor tuna dari kedua wilayah tersebut mencapai 131.823 ton dan 196.335 ton untuk tahun 2016 dan 2017, dengan nilai masing-masing sebesar 686,7 juta USD dan 1.042,1 juta USD (BKIPM, 2018a).

Mengingat cukup banyak kasus penolakan produk tuna dan tuna-like karena kandungan merkuri yang melebihi standar di pasar internasional dan Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tuna dan tuna-like di dunia, sedangkan penelitian tentang kandungan merkuri pada tuna dan tuna-like masih kurang, maka studi ini penting untuk dilakukan.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis kandungan merkuri yellowfin tuna, bigeye tuna dan swordfish, serta korelasinya dengan berat ikan dan menganalisis data kontaminan merkuri yellowfin tuna, bigeye tuna dan swordfish terkait pencemaran habitat perairan asal bahan baku di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Metode analisis menggunakan regresi linier dan analisis t-test. Pengujian merkuri menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometric (AAS). Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan merkuri sangat bervariasi antar jenis, berat dan asal perairan. Dua jenis tuna dari kedua perairan mengandung merkuri <1,0 mg/kg, kandungan merkuri yellowfin tuna berkisar antara 0,06±0,06 mg/kg hingga 0,33±0,18 mg/kg, sedangkan bigeye tuna antara 0,05±0,02 mg/kg hingga 0,33±0,14 mg/kg.

Berdasarkan analisis data, kesimpulan penelitian ini 1) kandungan merkuri sangat bervariasi antar jenis ikan, berat ikan dan asal perairan Samudera Hindia atau Samudera Pasifik. Rata-rata kandungan merkuri ikan tuna tidak melebihi 1,0 m/g/kg dan berat ikan cenderung tidak berkorelasi dengan kandungan merkuri, namun terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi merkuri pada bigeye tuna kelompok berat 1-10 kg/ekor dengan ukuran yang lebih besar (>100 kg/ekor). Sedangkan pada swordfish, kandungan merkuri meningkat dengan penambahan berat ikan dan pada ukuran >50 kg terdapat swordfish dengan kandungan Hg melebihi batas 1,0 mg/kg.

2) Perairan Samudera Hindia cenderung lebih tercemar merkuri dibanding Samudera Pasifik. Hal ini berkaitan dengan penggunaan dan pembuangan limbah merkuri dari industri di negara yang berada pada lintasan Samudera Hindia, sedangkan negara pada lintasan Samudera Pasifik cenderung menerapkan aturan penggunaan merkuri yang sangat ketat.*

Tri Handayani, Mohamad Syamsul Maarif, Etty Riani dan Nazori Djazuli, “Kandungan Logam Berat Merkuri pada Ikan Tuna.” Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol 14 No 1 Tahun 2019: 35-44.

Exit mobile version