Darilaut – Banyak jenis ubur-ubur. Namun ubur-ubur yang satu ini paling berbahaya di laut: Physalia physalis.
Orang Indonesia mengenal spesies Physalia physalis dengan sebutan ubur-ubur api. Terdapat pula beberapa penamaan di daerah, seperti krawe, leteh, atau impes.
Dalam bahasa Inggris, hewan ini dikenal dengan “the-portuguese man-of-war”, “man-of-war” atau “pacific-man-of-war”.
Sebelum pandemi Covid-19, setiap tahun diperkirakan terjadi 150 juta kasus serangan ubur-ubur pada manusia di dunia dan ubur-ubur api diyakini memiliki kontribusi besar atas sejumlah kasus tersebut.
Di negara bagian Queensland, Australia, misalnya, dilaporkan terjadi hingga 47.785 kasus serangan ubur-ubur api selama kurun waktu 2018–2019. Di Australia, ubur-ubur api dikenal dengan “the bluebottle”.
Ubur-ubur api dikenal sebagai salah satu anggota Filum Cnidaria yang paling berbahaya di laut. Filum ini dikenali dari ciri khasnya, yaitu memiliki sel cnidocyte (knidosit) pada tubuhnya.
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochamad Ramdhan Firdaus, knidosit adalah sel penyengat yang digunakan untuk menangkap mangsa atau melindungi diri dari musuh. Pada ubur-ubur api, sel ini dikenal dengan nama nematocyst (nematosit).
Dalam jurnal Oseana (2020) Firdaus telah menguraikan soal ubur-ubur api dengan judul “Aspek Biologi Ubur-ubur Api, Physalia physalis (LINNAEUS, 1758)“.
Sengatan ubur-ubur api dapat menyebabkan beberapa gangguan fisiologis seperti haemolitik. Oleh karena itu, orang yang tersengat ubur-ubur api dapat mengalami rasa terbakar pada kulit, eritema, sesak napas, kejang-kejang, dan gagal jantung bahkan berpotensi menyebabkan kematian.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2019 dilaporkan terjadi 612 kasus serangan ubur-ubur api hanya untuk sebagian wilayah pesisir selatan Gunung Kidul Yogyakarta.
Padahal berdasarkan laporan jurnalistik, pada tahun 2019 ubur-ubur api tersebar hampir di sepanjang pesisir selatan Jawa dan beberapa lokasi di perairan Sumatera. Diperkirakan jumlah kasus serangan ubur-ubur api di Indonesia jauh lebih besar.
Ubur-ubur api dimasukkan ke dalam filum Cnidaria karena memiliki organ khas kelompok cnidarian, yaitu knidosit (cnidocyte). Knidosit merupakan sel penyengat pada ubur-ubur dan dikenal dengan nama nematocyst.
Ubur-ubur api sendiri dikelompokkan ke dalam kelas Hidrozoa karena memiliki karakteristik khas Hidrozoa, yaitu melepas medusae dari tunas. Ada pendapat, Hidrozoa bukanlah filum, melainkan lebih tinggi tingkatan taksanya, yaitu superfilum.
Dengan demikian, berdasarkan sistematika tersebut ubur-ubur api dimasukkan ke dalam kelas Hydroidomedusae.
Kelas Hydroidomedusae memiliki ciri khas membentuk medusa dari nodul atau tunas. Ubur-ubur api masuk dalam kelompok subkelas Shiphonophorae.
Shiphonophorae membentuk polypoid dan medusoid yang sangat polimorfik dalam satu tubuh serta menempel pada stolon yang didukung oleh struktur tubuh yang dapat mengapung.

Struktur tubuh yang dapat mengapung tersebut dapat berupa pneumatophore dan/atau nectopores. Berdasarkan ada tidaknya pneumatophore apikal dan kelompok nectopores di dalam nectosom, shiponophorae dibedakan menjadi tiga ordo, yaitu Cystonectae, Physonectae dan Calyophorae.
Ubur-ubur api masuk ke dalam Ordo Cystonectae dengan ciri hanya memiliki pneumatophore dan tanpa nectosome. Namun dalam sistem taksonomi yang diajukan, ubur-ubur api masuk dalam Ordo Shiponophora dan Sub-Ordo Cystonectae.
Berdasarkan bentuk pneumatophore, Cystonectae terbagi lagi menjadi dua keluarga, yaitu Physaliidae dan Rhizophysidae. Physaliidae memiliki pneumatophore horizontal, sedangkan Rhizophysidae memiliki pneumatophore berbentuk bulat oval.
Keluarga Physaliidae diyakini bersifat monotypic karena hanya memiliki satu spesies saja. Para peneliti ada yang mengajukan beberapa spesies ubur-ubur api lain. Namun, jenis yang diajukan tersebut dianggap sebagai sinonim dari jenis P. physalis.
Ilmuwan lainnya menduga adanya keragaman yang tersembunyi (cryptic diversity) dari ubur-ubur api. Seperti hasil studi terkait dengan struktur genetik 54 sampel Physalia dari perairan New Zealand dan Australia.
Studi ini menemukan hasil analisis yang kompleks dan tidak konsisten sehingga mereka menduga adanya substantial cryptic diversity pada ubur-ubur api.
Cryptic diversity menunjukkan bahwa hewan tersebut memiliki keragaman diversitas secara genetik, namun memiliki morfologi yang sangat mirip seolah hanya satu jenis hewan saja.
Genus Physalia memiliki ciri berwarna biru-ungu dan memiliki kantung berisi gas yang disebut dengan pneumatophore asimetris serta tentakel yang menjuntai hingga beberapa meter.
Secara ilmiah, ubur-ubur api pertama kali dideskripsikan dan dipublikasikan oleh Linnaeus pada tahun 1758 dengan nama binomial Physalia physalis. Taksonomi hewan tersebut telah mengalami beberapa kali revisi.
Berikut ini taksonomi lengkap ubur-ubur api atau P. physalis (Schuchert, 2020):
Kingdom: Animalia (Haeckel, 1866)
Phylum: Cnidaria (Hatschek, 1888)
Class: Hydrozoa (Owen, 1843)
Sub-class: Hydroidolina (Collins, 2000)
Order: Siphonophorae (Eschscholtz, 1829)
Sub-order: Cystonectae (Haeckel, 1887)
Family: Physaliidae (Brandt, 1835)
Genus: Physalia (Lamarck, 1801)
Spesies: P. physalis (Linnaeus,1758)
Sumber: Mochamad Ramdhan Firdaus, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan judul “Aspek Biologi Ubur-ubur Api, Physalia physalis (LINNAEUS, 1758)“. Jurnal Oseana, Volume 45, Nomor 2 Tahun 2020: 50–68.
Komentar tentang post