Darilaut – Ubur-ubur api memiliki bentuk seperti balon dengan warna yang transparan. Ada yang berwarna biru, merah muda, hijau atau ungu dengan tentakel yang memanjang di bagian bawahnya.
Struktur “balon” pada ubur-ubur api disebut pneumatophore dan berperan sebagai pelampung sekaligus layar yang membantu hewan tersebut untuk mengapung dan bergerak dengan memanfaatkan angin.
Karena itu, ubur-ubur api (Physalia physalis) dapat terbawa angin hingga ribuan kilometer ke wilayah-wilayah pantai dan dapat menyengat para wisatawan.
Sengatan ubur-ubur api dapat menyebabkan beberapa gangguan fisiologis. Orang yang tersengat ubur-ubur api dapat mengalami rasa terbakar pada kulit, eritema, sesak napas, kejang-kejang, dan gagal jantung bahkan berpotensi menyebabkan kematian.
Dalam jurnal Oseana (2020) peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Mochamad Ramdhan Firdaus, menguraikan mengenai ubur-ubur api dengan judul “Aspek Biologi Ubur-ubur Api, Physalia physalis (LINNAEUS, 1758)“.
Menurut Firdaus, tulisan tersebut bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah mengenai ubur-ubur api. Mencakup aspek biologi ubur-ubur api seperti taksonomi, morfologi, anatomi dan siklus hidup.
Berdasarkan morfologi dan anatomi, secara umum ubur-ubur api memiliki bentuk menyerupai balon lonjong transparan. Warna pada ubur-ubur api memberikan kamuflase yang baik di laut dan dibentuk oleh komplek biliprotein, yaitu grup prostetik bilatriene.
Ubur-ubur api memiliki struktur tubuh yang rumit dengan variasi morfologi yang tinggi (polymorphism). Tubuhnya terdiri dari beberapa kesatuan zooid yang disebut dengan kormidia. Setiap kormidia bersifat tripartit (tiga kelompok zooid).
Satu individu ubur-ubur api yang kita lihat sesungguhnya bukan satu individu, melainkan kesatuan koloni yang terdiri dari beberapa individu fungsional terspesialisasi yang disebut zooid.
Terdapat empat zooid di dalam satu individu ubur-ubur api, yaitu pneumatophore, gastrozooid, dactylozooid dan gonozooid.
Keempat zooid tersebut memiliki struktur dan fungsi yang sangat berbeda satu sama lain, namun tetap bersinergi serta tidak dapat hidup tanpa salah satu zooid tersebut.
Ubur-ubur api mempunyai toksin yang bersifat kardiotoksik, neurotoksik, muskulartoksik dan hemolitik. Mangsa yang tersengat dapat mengalami kelumpuhan (paralyze) atau bahkan kematian.
Pengujian toksin pada hewan anjing (canine) menunjukkan adanya peningkatan tekanan darah, peningkatan laju pernafasan dan hemolisis. Pada hewan kecil seperti tikus, hasil pengujian menunjukkan bahwa dosis 0,037 ml/kg bersifat letal.
Toksin ubur-ubur api sebagian besar tersusun atas protein dan merupakan senyawa polipeptida yang bertekstur kental, serta memiliki berat molekul tinggi, yaitu mencapai 150 kDa. Toksin ubur-ubur api memiliki enam reaksi enzim, meliputi ATPase, aminopeptidase non spesifik, Rnase, Dnase, AMPase dan fibrinolisin.
Diduga target utama dari toksin ubur-ubur api adalah mengganggu transpor ion Na di dalam jaringan dan sel.
Berdasarkan berbagai kasus serangan pada manusia, diketahui bahwa toksin ubur-ubur api pada manusia menunjukkan berbagai gangguan pada sistem syaraf, jantung dan kulit.
Akibatnya, korban mengalami berbagai gejala, seperti rasa sakit yang hebat, kebingungan, mual, muntah, gangguan pernafasan, nekrosis pada kulit, disfungsi vasomotor (sistem pelebaran dan penyempitan pembuluh darah), kram, pingsan, kelumpuhan, hingga gagal jantung dan kematian.
Meski dinyatakan dapat menyebabkan kematian, namun kasus kematian sangat jarang sekali dilaporkan.
Sumber: Mochamad Ramdhan Firdaus, Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dengan judul “Aspek Biologi Ubur-ubur Api, Physalia physalis (LINNAEUS, 1758)“. Jurnal Oseana, Volume 45, Nomor 2 Tahun 2020: 50–68.
Komentar tentang post