Oleh: Verrianto Madjowa
Hari ini, 23 September dikenal sebagai hari maritim (bahari). Menyambut hari maritim, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut B. Panjaitan menjelaskan, antara lain, “Pemerintahan ini juga sudah melakukan langkah-langkah untuk kita swasembada garam pada akhir 2019.”
Produksi garam Indonesia, di tahun 2017 ini, telah menyita perhatian berbagai kalangan akibat kelangkaan dan impor garam masih terus dilakukan Indonesia. Pro dan kontra impor garam menarik perhatian publik, melalui pemberitaan di media massa.
Permasalahan garam akhir-akhir ini, bukan hanya soal kelangkaan dan impor. Garam yang dihasilkan dari air laut itu, terkontaminasi dengan plastik. Ilmuwan di sejumlah Negara telah meneliti hasil panen garam laut. Hasilnya: panen garam di lautan telah bercampur dengan sampah plastik. Temuan ini pertama kali dilakukan di Tiongkok, pada 2015 lalu. Selanjutnya, penelitian yang sama ditemukan di Amerika Serikat, Inggris dan negara Eropa lainnya.
Pada 2015, kita dikejutkan dengan hasil publikasi Jenna Jambeck, peneliti dari Universitas Georgia, Amerika Serikat. Berdasarkan data Jambeck, Indonesia tercatat di urutan kedua sebagai pemasok sampah plastik ke laut, yakni sebesar 187,2 juta ton. Berada di peringkat pertama adalah Tiongkok yang mencapai 262,9 juta ton, di urutan ketiga Filipina sebanyak 83,4 juta ton, selanjutnya Vietnam mencapai 55,9 juta ton, dan Sri Lanka sebanyak 14,6 juta ton per tahun. Hasil penelitian Jambeck dirilis di jurnal Science.
Tentu saja pemeringkatan dari 192 negara pesisir di seluruh dunia ini sangat mengkhawatirkan. Sampah plastik yang masuk ke badan air dan terombang-ombang di lautan tidak hanya berbahaya bagi biota laut. Melainkan juga bagi manusia. Berbagai macam penyakit dapat diakibatkan oleh adanya plastik yang terurai kemudian dikonsumsi oleh biota laut dan melalui rantai makanan, akan sampai ke tubuh manusia.
Riset Sampah Plastik di Laut
Penelitian yang fokus pada sampah di lautan masih sangat terbatas. Menurut pengajar Ilmu Kelautan di Department of Marine Science, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran, Noir Primadona Purba (2017), sejak 1970 hanya sekitar 200 penelitian di dunia yang fokus pada sampah laut. Kajian dari Universitas Plymouth mencatat sampai tahun 2011 setidaknya hanya sekitar 50 penelitian di dunia. Di Indonesia sendiri, penelitian ini belum menjadi daya tarik sehingga setidaknya dapat dihitung dengan jari.
Menurut Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepulauan Riau, Dr. Agung Dhamar Syakti, tidak lebih dari lima publikasi pada jurnal bereputasi terkait sampah plastik di laut pernah dicatat pada era 1970-an hingga 1980-an di Indonesia. “40 tahun telah berlalu, jumlah publikasi permasalahan plastik di laut tidak pernah bertambah.”
Minimnya penelitian ini berkelindan dengan pemeringkatan Indonesia sebagai pemasok terbesar kedua sampah plastik di lautan. Plastik ini, baik berupa botol dan kemasan lainnya terombang-ambing, terbawa arus dan gelombang di lautan. Sejatinya, plastik itu tidak mudah terurai dalam waktu cepat atau butuh periode yang lama, puluhan hingga ratusan tahun.
Karena proses penyinaran matahari serta faktor oseanografi berupa arus, gelombang dan pasang yang membuat plastik tersebut terpecah-pecah menjadi partikel-partikel yang sangat kecil (debris). Selain itu, ada plastik yang terombang-ambing di lautan digigit burung atau biota laut lainnya yang memakan debris tersebut. Lebih lanjut, kata Agung Dhamar Syakti (2017) sampah plastik dapat melepas senyawa kimia aditif yang beracun. Senyawa kimia yang terlepas dari plastik, jika termakan oleh ikan akan memberikan efek bahan kimia yang dapat mempengaruhi perkembangan dan reproduksi ikan akibat gangguan hormon endokrin.
Ancaman nyata sampah plastik yang terurai dan menyatu dengan bahan-bahan pencemar lainnya di lautan dapat bersifat karsinogenik atau pencetus kanker, yang dapat dimakan biota laut, melalui sistem rantai makanan. Selain itu, ancaman nyata lainnya adalah proses pembuatan garam dengan air laut yang terkontaminasi dengan sampah plastik.
Komentar tentang post