SAMPAH laut menjadi isu sentral saat ini karena dampaknya ke ekosistem, ekonomi, dan kesehatan. Untuk wilayah perairan Laut Sawu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, menjadi penting disebabkan adanya “transborder issue”, yakni sistem lautan yang terhubung.
Sampah ini dibawa via arus laut dan Indonesia merupakan alur arus dunia (Ocean Conveyor Belt) dan menjadi “trapping” terhadap sampah tersebut. Aliran air dari Pasifik menuju Hindia melalui Indonesia dan didalamnya mengalir di sekitar wilayah perairan timur Indonesia.
Kita tahu bahwa Ocean Garbage Patch telah diidentifikasi dan berpotensi memasuki wilayah Indonesia. Indeks Kesehatan Laut (IKL) Indonesia pada tahun 2017, berada pada peringkat 145 dari 221 negara. Kesehatan ini salah satunya adalah tingginya polutan di air, di mana termasuk sampah didalamnya.
Sampah laut sudah menjadi isu global. Hasil penelitian Jambeck pada tahun 2015 menempatkan Indonesia sebagai penghasil nomor dua di dunia, dengan volume 0.48-1.29 juta ton sampah.
Pada bulan Juni 2018, Tim yang berasal dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Padjadjaran, serta beberapa instansi melakukan kajian sampah laut di perairan laut Sawu. Instansi yang terlibat, seperti Diver Clean Action (DCA), Manta watch, KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan), Indonesia Waste Platform (IWP). Turut serta dalam kajian ini dari BKKPN Kupang sebagai pengelola Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
Kegiatan ini didanai oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dalam project DDRG (Drive Demand Research Grant) untuk melakukan kajian sampah laut di sebagai perairan laut Sawu.
Pentingnya penelitian ini disebabkan tingginya keanekaragaman hayati dari sisi biota, ekosistem, dan kesuburan perairan.
Seperti diketahui, sampah laut mempengaruhi aspek ekologi dan ekonomi masyarakat. Selain itu, letak perairan Sawu sebagai lokasi migrasi ikan, sangat rentan terhadap sampah. Sebagian besar ikan, tidak dapat membedakan mana makanan dan juga sampah.
Hasil riset menunjukkan bahwa sampah makro yang dikaji di pantai sangat banyak dan mencapai 9.42 kg/100 meter. Rata-rata sampah yang dikumpulkan adalah sekitar 4 kg/100 meter. Lokasi pantai yang menjadi tempat kajian, antara lain Pantai Oisina dan Namosain di Kupang, Nembrala dan Oiseli, dan Pantai Tiang Bendera di Rote, dan pantai di Pulau Ndana.
Pulau Ndana merupakan pulau terluar di Indonesia. Pulau ini berbatasan dengan negara lain dan berperan untuk menjaga kawasan konservasi. Sampah yang ada di pulau ini merupakan sampah yang berasal dari pulau lainnya.
Senada dengan hal tersebut, hasil identifikasi menunjukkan bahwa sampah-sampah yang ada di pantai tersebut, kebanyakan bukan dari pulau tersebut. Untuk wilayah pantai yang lain, sampah yang ditemukan berupa kaca, plastik, plastik kemasan, botol kemasan.
Hal serupa ditemukan di 60 lokasi yang pernah dikaji di Pulau Jawa. Hal yang sama juga tampak di Rote dan Ndana. Di rote, pantai-pantai yang termasuk dalam kunjungan turis memang terlihat kotor. Dapat dikatakan bahwa 1/5 luasan pantai tertutup oleh sampah.
Jika melihat sampah yang ada di pantai, kebanyakan di pantai wisata. Sampah ini berasal dari turis atau masyarakat lokal. Di beberapa tempat, sampah juga terbawa oleh aliran air sungai atau pun arus laut dari tempat lain.
Belum adanya kesadaran masyarakat dalam membuang sampah, membuat pantai menjadi kotor. Nilai estetika berkurang, menyebabkan turis yang datang semakin berkurang. Dalam hal ini, diperlukan aturan dan kebijakan yang ketat terhadap pengelolaan sampah di berbagai instansi hingga ke masyarakat.
Perlu adanya perbaikan sarana di berbagai pantai untuk menampung sampah yang berasal dari turis dan masyarakat. Tingkat kesadaran yang kurang ini didasarkan pengetahuan yang rendah, terkait dampak yang ditimbulkan oleh sampah. Selain itu, diperlukan sosialisasi kepada industri agar dapat menggunakan kemasan yang ramah lingkungan/recylce dalam produk yang dihasilkan.
Sampah sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan dengan teknologi yang ada saat ini. Dengan melihat kondisi yang ada di Kupang dan sekitarnya, sampah dapat dijadikan sebagai bahan kerajinan tangan tradisional hingga dapat didaur ulang dalam skala industri.
Pemerintah memegang peranan penting dalam mengelola lingkungannya terutama untuk lautan. Masyarakat harus turut aktif dalam mengelola dan menjaga lingkungan karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Noir Primadona Purba adalah peneliti di Departemen Ilmu Kelautan, Universitas Padjajaran. Tahun 2011-2016 melakukan penelitian marine debris di Indonesia. Pada 2016, sebagai ahli rencana aksi marine debris di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman.
Komentar tentang post