Darilaut – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto mengatakan terjadi peningkatan frekuensi kejadian banjir dari laut (rob).
Perubahan iklim menjadi pemicu peningkatan kejadian bencana. Dampak dari adanya perubahan iklim tidak hanya terjadi di hulu, peningkatan suhu global memicu tren kenaikan tinggi muka laut.
Ini diperparah lagi oleh kerusakan ekosistem pesisir. Catatan BNPB dalam tiga tahun terakhir saja, jumlah kejadian bencana banjir rob meningkat 46% dari 35 kali kejadian di tahun 2020 menjadi 75 kejadian di 2022.
Hal ini disampaikan Suharyanto saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang dihelat di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat pada Sabtu (3/6).
“Berdasarkan data yang kami himpun dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023 terdapat setidaknya 1.675 kejadian yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1%, dengan rincian 92,5% adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6% merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi,” kata Suharyanto.
Untuk bencana hidrometeorologi basah, kata Suharyanto, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.
Adapun urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat.
Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan berkurangannya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.
Suharyanto mengatakan, saat ini perubahan iklim yang terjadi di dunia secara nyata telah meningkatkan potensi kejadian bencana.
Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrim.
Menurut Suharyanto jika kita melihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global khususnya sejak tahun 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana.
Hal yang sama dengan data bencana di Indonesia, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam dalam mengalami kenaikan hingga 82% jika dilihat dari tahun 2010 hingga 2022.
Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi.
Data yang dihimpun BNPB pada lima bulan di awal tahun 2023 ini, sudah terjadi 1.675 kejadian bencana.
Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.
Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat.
Data dari KLHK menunjukkan bahwa luas lahan terdampak karhutla khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan. Pada tahun 2019 contohnya, dari 1.64 juta Ha lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara, kata Suharyanto.
“Ini semua menjadi menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal,” ujarnya.
Komentar tentang post