Teknologi Budidaya Udang yang Menghasilkan 130 Ton per Hektare

Udang. FOTO: DARILAUT.ID

Darilaut – Dalam setiap hektare lokasi budidaya udang dapat menghasilkan hingga 130 ton udang. Tekonologi ini berhasil diciptakan tim peneliti IPB University.

Melansir Ipb.ac.id, teknologi ini dengan mengkombinasikan sistem budidaya Recirculating Aquaculture System (RAS) dan Bioflok. Budidaya udang secara presisi yang mampu meningkatkan produktivitas hasil panen.

Ketua tim Peneliti, Prof Bambang Widigdo, mengatakan ujicoba budidaya udang ini dengan tidak banyak mengganti air laut, dengan sistem resirkulasi. Sisa pakan dan kotoran udang harus dikonversi menjadi bahan yang tidak menghasilkan racun.

Resirkulasi yang dilakukan tidak boleh menjadikan flok banyak berkurang. Sebab, flok atau agregat sisa pakan, bakteri, protozoa dan zooplankton dapat digunakan sebagai tambahan makanan serta untuk mengasimilasi gas beracun menjadi tidak beracun.

Menurut Bambang, teknologi budidaya udang ini dilakukan di dalam suatu greenhouse, di mana berbagai parameter seperti suhu dan salinitas dapat dikondisikan.

Hal itu bertujuan agar kualitas hasil panen mampu terjaga dengan baik. Selain itu, budidaya udang dengan greenhouse juga dapat mengefisienkan penggunaan air.

Dengan kualitas air terjaga, kata Bambang, climate bisa tereliminasi dari perubahan suhu yang naik turun, kondisi optimal bisa dicapai. Sehingga pertumbuhannya bisa lebih cepat. Karena semua parameter bisa dieliminasi dengan biosecurity secara penuh, dalam satu meter persegi dapat ditebar 300 hingga 500 ekor udang.

Bambang menjelaskan, budidaya dengan teknologi ini berpotensi secara kontinu bisa menghasilkan enam sampai sembilan kilogram per kubik. Bahkan jika dilakukan panen secara parsial, potensinya bisa 100-130 ton per hektar.

Panen parsial dilakukan dalam beberapa kali tahapan. Yaitu dalam 65 hari, 75 hari, 85 hari, 105 hari dan 120 hari. Di mana setiap kali panen berkisar antara 15-20 persen dari populasi.

“Jika diakumulasikan, per kubik bisa mencapai 10 sampai 13 kilogram. Artinya kalau dihektarkan bisa 100 sampai 130 ton per hektar. Sementara jika budidaya konvensional, paling tinggi hanya mencapai 40-68 ton per hektar,” kata Bambang seperti dikutip dari Ipb.ac.id, Kamis (20/1).

Wakil Ketua Tim Peneliti Dr Wiyoto, mengharapkan sistem budidaya RAS dan bioflok ini dapat menjadi alternatif teknologi bagi tambak-tambak yang tidak lagi produktif. Sebab dengan luasan yang sedikit saja, mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Menurut Wiyoto dengan konsep ini, kita bisa menghidupkan tambak-tambak yang tidak aktif, yang tidak produktif. Sebab teknologi ini sudah diujicoba dan berjalan dengan baik, sehingga bisa dikembangkan secara luas dan dengan skala yang lebih besar lagi.

Secara lengkap, tim peneliti terdiri dari Prof Bambang Widigdo, Dr Wiyoto, Dr Zulaikasari, Dr Sigit dan melibatkan 29 mahasiswa, baik dari Sekolah Vokasi maupun program Sarjana. Inovasi yang sangat aplikatif untuk diterapkan di masyarakat ini mendapatkan dana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam bingkai program Kedai Reka.

Rektor IPB University, Prof Arif Satria mengatakan, fasilitas greenhouse ini merupakan salah satu Teaching Factory (Tefa) yang dimiliki Sekolah Vokasi IPB University. Kehadiran Tefa penting bagi kompatibilitas antara pendidikan dengan industri. Dengan cara ini, pendidikan mampu uptodate, sesuai dengan perkembangan zaman.

“Kita ingin lulusan vokasi ketika masuk ke industri, apa yang dihadapi sama. Mahasiswa yang kuliah di vokasi, dengan fasilitas Tefa yang smart ini, begitu lulus, tidak kaget. Tefa bertujuan mengenalkan industri kepada mahasiswa, dan menghadirkan aura industri di dunia kampus,” katanya.

Exit mobile version