Catatan Tsunami Non Tektonik di Indonesia

Rumah yang rusak berat saat terjadi gempa disusul tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Jumat 28 September 2018. FOTO: DARILAUT.ID

Darilaut – Bencana alam tsunami non tektonik beberapa kali terjadi di wilayah Indonesia. Sejarah mencatat, ada bencana alam tsunami non tektonik yang menelan korban jiwa sangat besar.

Bencana alam ini seperti tunami Gunungapi Gamkonora (1673), tsunami G. Gamalama (1763), tsunami G. Gamalama (1840), tsunami G. Awu (1856), tsunami G. Ruang (1871), tsunami G. Krakatau (1883), tsunami G. Rokatenda (1928), dan tsunami Waiteba NTT akibat longsor tebing pantai (1979).

Tsunami non tektonik yang belum lama ini terjadi seperti tsunami di Pandeglang, Selat Sunda, Banten yang terjadi tahun 2018. Ini terjadi akibat longsor lereng gunung ke laut, yang dipicu erupsi Gunungapi Anak Krakatau.

Saat terjadinya gempa bumi magnitudo 6,1 di Pulau Seram Maluku Tengah, 16 Juni lalu yang juga mengakibatkan longsor lereng pantai sehingga berdampak tsunami dengan kenaikan muka air laut sekitar 50 cm.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati yang juga sebagai Chair Intergovernmental Coordination Group Indian OceanTsunami Warning and Mitigation System (ICG IOTWMS) sejak 2019, mengatakan, sampai saat ini belum ada negara yang memiliki sistem Peringatan Dini Tsunami non tektonik yang handal, cepat, tepat dan akurat.

ICG IOTWMS bertanggung jawab untuk memimpin Koordinasi Sistem Peringatan Dini dan Mitigasi Tsunami di 28 Negara di sepanjang Pantai Samudra Hindia.

Teknologi dan pemodelan tsunami yang ada kebanyakan berdasarkan perhitungan/analisis terhadap aktivitas tektonik atau kegempaan (Earthquacke Centris). Hal Ini juga masih menjadi tantangan global.

Untuk itu, BMKG bersama para ahli/pakar, serta akademisi kampus dan perguruan tinggi baik dari dalam dan luar negeri, terus berupaya berpacu dengan waktu untuk mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami Non Tektonik, yang berbasis kajian ilmiah dan keilmuan.

“Kami rutin menggelar Focus Group Discussion bersama para ahli dan pakar gempa dan tsunami dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga kajian ilmiah seperti LIPI dan BPPT, juga dengan pakar dari United States Geological Survey (USGS), GFZ Jerman, GNS Science New Zealand ataupun dengan para pakar dari Perguruan Tinggi/Lembaga Riset di Jepang, Australia, India, Inggris dan Amerika. Semoga sistem peringatan dini tsunami non tektonik bisa segera tercipta,” kata Dwikorita.

Menurut Dwikorita mitigasi ataupun sistem peringatan dini tidak akan berhasil efektif bila hanya dilakukan oleh satu lembaga saja, atau oleh beberapa lembaga yang terfragmentasi/ tidak terintegrasi.

Hal ini sejalan dengan amanah Perpres no 93 tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami (InaTEWS). Sistem peringatan dini harus dioperasikan dengan kolaborasi yang holistik dan terintegrasi, secara menerus, berkelanjutan, yang dilakukan oleh berbagai pihak/lembaga dari Pusat hingga ke Daerah.

Dwikorita mengatakan, di tengah fenomena cuaca, iklim dan tektonik di Indonesia yang semakin dinamis, kompleks, tidak pasti dan makin ekstrem seperti sekarang ini, Pemerintah Daerah diharapkan lebih siap dan sigap dalam upaya memperkuat mitigasi bencana.

BMKG sendiri terus meningkatkan sistem peringatan dini agar manajemen kebencanaan yang terdiri dari upaya pencegahan, mitigasi, tanggap darurat, dan recovery yang ditangani oleh banyak pihak/instansi di bawah koordinasi BNPB dapat berjalan dengan baik, sinergis, holistik, efektif dan berkelanjutan.

Menurut Dwikorita, sistem komunikasi yang mendukung penyebarluasan informasi, juga masih cukup rentan dan sangat mahal. Dicontohkan, saat terjadi gempabumi di Palu tahun 2018 lalu, sistem komunikasi lumpuh total akibat robohnya BTS karena gempa.

Alhasil, informasi Peringatan Dini tidak dapat tersebar ke masyarakat di daerah terdampak. Pun, data monitoring muka laut di daerah terdampak tidak dapat terkirim/terbaca. Padahal data tersebut sangat diperlukan dalam monitoring dan verifikasi/konfirmasi Peringatan Dini.

Penyebaran informasi dari BMKG ke Pemerintah Daerah juga diback-up dengan jaringan komunikasi satelit. Namun, kata Dwikorita, cara tersebut memakan biaya yang cukup mahal karena masih terkena tarif komersil. Menurut Dwikorita, Idealnya diperlukan sistem satelit khusus untuk mitigasi/pencegahan bencana yang bebas tarif.

Kendala lain yang dihadapi adalah banyaknya sirine peringatan dini tsunami yang mati total alias tidak berfungsi. Selain karena faktor usia, tidak berfungsinya sirine tersebut akibat Pemerintah Daerah kesulitan anggaran untuk melakukan pemeliharaan yang memadai.

Yang tidak berfungsi jumlahnya mencapai puluhan lebih. Usianya juga sudah lebih dari 10 tahun, dan memang seharusnya sudah diganti, sudah dilaporkan ke BNPB dan Kementerian Dalam Negeri/ Pemerintah Daerah.

Dwikorita mengatakan, sirine tsunami dibangun dengan harga yang cukup mahal oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang kemudian dihibahkan kepada pemerintah daerah untuk dioperasikan dan dipelihara.

BMKG sendiri telah memasang sebanyak 52 sirine sepanjang 2008 – 2015. Dari jumlah itu, 6 sirene telah dihibahkan ke Pemprov Sumbar dan 9 sirene ke Pemprov Bali.

Dwikorita menjelaskan, keberadaan sirine pada awalnya memang sangat penting, karena merupakan salah satu cara mitigasi tsunami, selain Peta Bahaya Tsunami, Peta Evakuasi serta sarana prasarana evakuasi seperti jalur evakuasi, rambu evakuasi, dan shelter tempat pengungsian.

Exit mobile version